STRATEGI
MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH
DI
TENGAH TERPAAN BADAI KEHIDUPAN
Para
Jama'ah yang saya mulyakan!.
Salah satu tugas pokok kita sebagai orang
tua adalah menyelamatkan diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Tugas ini
ditegaskan di dalam Al-Qur'an Surat At-Tahriim : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Yang ingin saya sampaikan
pada pengajian kali ini adalah tentang tata cara untuk melaksanakan tugas
tersebut, karena perintah Al-Qur'an tadi bersifat umum. Hal ini seperti halnya
perintah shalat di dalam Al-Qur'an, sedangkan rincian tata cara shalat harus
dilihat di dalam Hadits Rasulullah SAW. Bahkan Hadits pun kadang-kadang masih
harus dirinci lagi melalui ijtihad (pandangan keilmuan) para ulama'. Jadi,
Hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an, sedangkan ulama' berfungsi untuk
mempraktekkannya di dalam tekhnis pelaksanaan sehari-hari.
Sekarang kita bukan hanya mengalami
kesulitan di dalam keluarga, karena faktor ekonomi dan sulitnya mencari biaya
hidup, akan tetapi kita juga kesulitan karena pengaruh dari luar. Sekarang ini,
pengaruh dari luar tidak hanya mengganggu, tapi sudah merusak dan
menghancurkan. Oleh karena itu, cara kita dalam menyelamatkan keluarga juga
harus dobel, yakni dobel dari dalam dan dobel dari luar.
Saya akan memulai membahas tentang tata
cara menyelamatkan keluarga dari dalam. Seorang ahli hikmah yang bernama Imam
Al-Ghozali RA menyatakan dalam atsar-nya (pendapat yang mu'tabar).
أَصْلِحْ
نَفْسَكَ، يَصْلُحْ لَكَ النَّاسُ
أَصْلِحْ نَفْسَكَ،
يَصْلُحْ لَكَ النَّاسُ
Perbaikilah dirimu,
niscaya orang lain akan memperbaiki dirinya (perilakunya) kepadamu
Atsar ini bisa diartikan: Kalau kita
ingin memperbaiki keluarga kita, maka kita (ayah dan ibu sebagai orang tua)
yang harus memperbaiki dirinya terlebih dulu. Kita harus memperbaiki diri
sendiri, sebelum memberi nasehat apapun kepada anak-anak kita. Ayah dan ibu
harus memperbaiki diri secara bersama-sama. Seorang ayah biasanya mempunyai
kelebihan dalam mengayomi dan mengatur anak, sedangkan ibu mempunyai kelebihan
dalam mengembangkan nurani anak. Oleh karena itu, yang harus diperbaiki oleh
seorang ayah adalah tauhidnya kepada Allah SWT. Cantolannya kepada Allah
SWT ini harus diberesi, melalui ibadah, dzikir, amal ma'ruf nahy mungkar
(memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran), mencari makanan yang halal
dan melakukan tindakan yang halal. Dengan demikian, seorang ayah akan menjadi
berwibawa, ndak dicelatu terus karo anake. Kalau semua ini sudah kita
lakukan, maka Allah SWT akan memberikan fadhilah (keutamaan) kepada
kita. Setelah itu, seorang ayah mulai keluar nur-nya di kalangan
keluarga. Pada saat itu timbullah rasa segan anak kepada seorang ayah dan
seorang istri kepada suaminya, namun suami juga tidak semena-mena kepada istrinya.
Semua itu adalah buah dari pelaksanaan lima titik di atas.
Bersama dengan itu, seorang ibu hendaknya
mengasah nuraninya, hatinya, dan feeling-nya melalui shalat dhuha dan
shalat malam. Ingat!, tidak ada anak shalih terlahir dari ibu yang tidak shalat!.
Ibaratnya, daun akan hijau kalau akarnya beres. Anak-anak kita ibarat daun-daun
pohon, sedangkan ibu adalah akar dari pohon itu. Ketika akar sudah rusak, maka
daun akan mulai menguning, layu dan jatuh. Shalat malam itu banyak macamnya,
bisa shalat Ba'diyah Isya', Shalat Hajat, Shalat Tahajjud, dsb. Setelah shalat,
ibu harus langsung mendo'akan anaknya satu persatu. Dari situlah, nanti akan
tumbuh ruh junudun mujannadat, yaitu ruh ibu yang dulu pernah menjadi
satu dengan anak, akan menjadi tersambung kembali. Dengan demikian, kalau
seorang anak pergi jauh, dia akan ingat ayah dan ibunya. Sekarang ini,
anak-anak kita sudah tidak lagi begitu. Adapun yang bisa menyambungkan ruh anak
dan orang tua adalah seorang ibu, bukan anak. Imam Al-Ghozali RA menyarankan,
setiap kali ada perpisahan antara anak dengan ayah-ibu – misalnya; pergi – ,
maka harus selalu dibarengi dengan bacaan Surat Al-Fatihah dari ayah dan
ibu kepada anak. Surat Fatihah itu akan menjadi sebuah perlindungan bathin
orang tua terhadap anak. Coba sekarang kita angan-angan. Pernahkah kita
melakukan semua itu?. Karena kita tidak pernah melakukan semua itu, maka anak
kita menjadi liar. Pikiran dan hatinya menjadi liar, karena tidak ada cantolannya
kepada orang tua. Jangan lagi ketika anak berada di luar rumah; di dalam rumah
saja, hati anak sudah ndak nyambung sama ayah-ibunya. Hal ini
adalah berbahaya!.
Keterangan di atas adalah menyangkut
perbaikan diri secara bathiniyah, yaitu apa yang harus dilakukan oleh ayah dan
ibu dalam rangka mempraktekkan atsar Imam Al-Ghozali RA di atas. Jika
sudah berhasi, maka tanpa marah pun, anak-anak akan sungkan kepada orang
tuanya. Sungkan ini akan disertai dengan kecintaan dan kerinduan, ketika
amal-amal bathin itu diterima oleh Allah SWT.
Karena tugas ayah itu dobel, maka
selain berdo'a dan menjaga hubungan bathin, seorang ayah juga harus mencari
kebutuhan hidup. Oleh karena itu, daya lekatnya terhadap anak tidak seperti ibu
yang memang khusus memberesi masalah bathin anak. Jadi, seorang ayah
yang tidak didukung oleh seorang ibu, akan mengalami kesulitan dalam
mengendalikan hati anak-anaknya, karena ayah hanya bisa menjalankan separo
tugas saja, sedangkan tugas yang separo lagi adalah mencari kebutuhan
hidup keluarga. Adapun seorang ibu, ada yang seperti itu, namun tidak semuanya,
sehingga konsentrasinya dalam mendidik anak lebih baik dari pada ayah.
Setelah itu, pelan-pelan, anak-anak
didorong untuk melakukan hal yang sama. Namun prosedur ini jangan dibalik.
Jangan sampai anaknya disuruh melakukan terlebih dulu, sedangkan orang tuanya
belum melakukannya, karena nanti akan diguyu-guyu oleh anak. Adapun
salah satu obat yang paling mujarab untuk menyatukan keluarga adalah mengadakan
shalat berjama'ah di dalam keluarga. Shalat berjama'ah dalam keluarga sungguh
luar biasa pengaruhnya. Yang begini-begini ini sudah tidak kita pikirkan, soale
mikir regane lengo gas mundak terus, pikirane wis entek.
Suatu kegiatan (amaliah) keluarga, secara
timbal balik akan mempengaruhi rezeki kita. Orang yang hatinya tenang, nyambot
gawene juga nggak ngawur, sehingga rezeki yang masuk juga nggak
ngawur. Akan tetapi kalau orang yang secara dzahiriyah, rezekinya
sudah sangat rusak, maka hal itu bisa merusak bathiniyah keluarga. Hal
ini dijelaskan oleh dawuh Nabi Muhammad SAW:
كَادَ الْفَقْرُ
أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
Kefakiran itu mendorong orang untuk menjadi kafir.
Kafir itu ada beberapa jenis, yaitu:
v Kafir
dalam arti tidak percaya kepada Allah SWT. Ini adalah kafir yang paling buruk;
v Kafir
ketika menerima pemberian Allah SWT. Kafir ini disebut dengan kafir nikmat;
v Kafir
dalam arti tidak mau menjalankan perintah Allah SWT.
Kalau kita sudah menjalankan semua hal di
atas, maka posisi kita sebagai orang tua sudah benar. Ingat, masih posisinya
yang benar, belum gerakannya. Namun semua ini sudah bisa dijadikan modal untuk
mencari kebutuhan dzahiriyah. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Jumu'ah : 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Maksud Ayat di atas adalah; Kalau urusan
dengan Allah SWT sudah engkau beresi, cepet-cepet engkau cari
rezeki atau fadhal (anugerah) Allah SWT.
Kalau bisa, jangan sampai ada anak kita
yang sudah dewasa, namun masih nggandol kepada kita. Mereka harus
diajari mencari rezeki. Inilah letak perbedaan antara kita dengan orang cina.
Orang cina itu sekalipun ayahnya kaya, namun anaknya tidak dimanja. Biasaya
orang cina akan memerintahkan anaknya untuk bekerja sebagai kuli di perusahaan
milik temannya, setelah paham, baru dibuatan pabrik sendiri. Oleh karena itu,
kalau ada orang cina jualan kacang, maka pada saat dipegang oleh anaknya sudah
menjadi pabrik kacang. Sedangkan kita, seandainya mempunyai tanah seluas 10
hektare dan mempunyai 10 anak, maka masing-masing anak akan kita beri 1
hektare. Selanjutnya pada saat cucu kita sudah dewasa, kita sudah ndak punya
tanah, akhirnya menjadi makelar tanah.
Selama seseorang membutuhkan dunia, maka
dia harus mencarinya. Kecuali kalau dia dipilih oleh Allah SWT, hatinya sudah
tidak menginginkan dunia lagi; ganti Allah SWT yang akan mengantarkan
harta duniawi kepadanya. Namun kalau kita tidak dipilih, ojok gaya , nanti justru
akan melarat tenan. Apalagi posisi kerja pada Surat Al-Jumu'ah : 10 di
atas, letaknya persis setelah ibadah fardhu.
Nah, itu tadi baru ngomong masalah yang
pertama, yaitu bagaimana cara memberesi diri kita dan anak-anak kita. Sedangkan
masalah kedua yang harus kita beresi adalah godaan dari luar. Saya
mempunyai 6 orang anak, sedangkan saya ini harus wira-wiri ke sana ke mari, sehingga
tidak bisa memikirkan anak-anak secara penuh. Akhirnya tugas itu menjadi bagian
ibunya. Saya berpesan: "Wis
ojok dadi reno-reno. Jadi pengurus anak-anak saja". Ibunya anak-anak
ini mau ditarik jadi pengurus apalah, namun saya jawab: "Ora
usah. Aku iki wis
montang-manting, lek kowe melok montang-manting, umah iki dadi gerdu".
Itupun di tengah perjalanan, saya tetap mengurus anak, meskipun tidak sekuat
ibunya. Makanya, kalau ada apa-apa, anak-anak pergi ke ibunya, karena
andil saya cuma separo, sedangkan andil ibunya itu penuh. Namun ada juga
seorang ayah yang disuruh mengurusi anak terus, sedangkan ibunya ke salon
terus. Bapake dikongkon utek-utek anake, sedangkan ibue ucul
dengan jurusan permejengan di mana-mana. Kalau hal itu yang terjadi,
maka kecenderungan anak akan mengarah kepada ayah, bukan kepada ibu. Masalah yang
paling gawat adalah kalau ayah dan ibu bertentangan. Suami dan istri yang geger
berarti mereka telah melakukan dua dosa sekaligus.
Sekarang saya akan bicara mengenai bahaya
dalam keluarga. Bahaya itu bisa berasal dari dalam dan bisa juga dari luar. Contoh
bahaya dari dalam adalah gegeran, lalu didelok anake. Jika hal
itu sampai terjadi, maka habislah wibawa orang tua. Apalagi kalau ayah dan
ibunya "kampanye" golek dukungan anake, yaitu anak
dipengaruhi untuk ikut ibu atau ayahnya. Tindakan seperti itu bisa merusak
psikologi anak. Oleh karena itu, dosa gegeran ayah dan ibu itu dobel,
yakni dosa pertikaian dan dosa merusak psikologi anak sekaligus.
Sebenarnya,
alasan kenapa saya ndak berani kawin lagi adalah karena takut terjadi
hal seperti itu. Saya pernah bertemu dengan seorang Kyai di Banyuwangi yang
mempunyai anak sebanyak 48 anak dari 5 orang ibu, sebenarnya Kyai itu istrinya
4 orang, namun yang satu gonta-ganti. Dia termasuk orang khusus yang diberi
kelebihan oleh Allah SWT. Di Mojokerto juga ada orang yang mempunyai 4 orang
istri dan tinggal dalam satu rumah. Kamare jejer-jejer, ibarat asrama.
Bagaimana kondisi yang seperti ini bisa tenang?. Piye nalare?. Saya
sendiri merasa heran, karena biasanya pertikaian paling gawat itu disebabkan
suami yang berkeluarga lagi. Saya juga pernah dikirimi sms oleh AA Gym yang
nikah lagi, namun digegeri orang-orang. "Kyai, tindakan saya ini 'kan tidak salah
menurut agama. Namun kok orang-orang nggegeri saya". Saya
jawab: "Itu menunjukkan kalau sampeyan belum Kyai. Belum mempunyai
ilmunya, kok berani poligami, yo nubruk-nubruk". Dan lagi,
para penggemar AA Gym umumnya adalah para ibu-ibu, bukan mbak-mbak.
Karena mereka itu ibu-ibu, maka mereka solider terhadap istri AA Gym
yang pertama. Umpama penggemarnya itu mbak-mbak yang berpotensi
menjadi istri kedua, mungkin mereka akan mendukung.
Bahaya dari dalam yang kedua adalah
faktor ingin saling menguasai di antara kedua orang tua. Mulane dalam
menanggapai masalah gender ini, di dalam Al-Qur'an ada dua penjelasan.
Di dalam lingkungan keluarga, Al-Qur'an tidak menggunakan istilah
"persamaan gender", melainkan menggunakan istilah "keserasian
gender". Serasi itu bukan berarti sama. Serasi itu bermakna saling
mengisi; kelebihannya diberikan kepada yang lain, dan kelebihan orang lain
masuk ke dalam dirinya. Oleh karena itu, di dalam Surat Al-Baqarah :
Hunna
libasun lakum
Engkau
pakaiannya wanita dan wanita pakaiannya laki-laki.
Kemudian
Ayat ini dipertegas lagi oleh Surat
:
Faddhalallahu
badhahum 'ala ba'dhin.
Allah SWT memberi kelebihan pada kaum
laki-laki maupun kaum wanita. Masing-masing laki-laki dan wanita mempunyai
kelebihan masing-masing, hanya letaknya saja yang berebda. Keserasian itu
tercipta, misalnya; ketegasan laki-laki dimasuki oleh ketelitian perempuan; Rasio
laki-laki dibarengi nurani perempuan. dsb. Inilah yang dimaksud dengan Ayat di
atas. Pakaian itu bukan hanya kain, akan tetapi juga sifat-sifat laki-laki dan
perempuan yang saling mengisi sejak zaman azali dari Lauh Mahfudz. Jadi, wong
lanang itu nggak usah belajar nyulam, nanti suwek kabeh kaine,
karena menyulam itu pekerjaan wanita. Wanita juga jangan mbecak, karena
itu pekerjaan laki-laki-laki. Wanita harus bersikap lembut, sedangkan laki-laki
harus bersikap gagah. Di mana letak kekuatan wanita? Yaitu pada kelembutannya,
sehingga menimbulkan rasa laki-laki untuk melindunginya, dan perlindungan
itulah yang membuat wanita aman dan kuat. Sifat-sifat yang berbeda itu harus
disinergikan.
Jangan sekali-kali mengibarkan bendera
persamaan gender di dalam keluarga, karena nanti justru akan membuat keluarga
retak dan kering. Orang-orang yang ngomong gender itu biasanya rumah tangga
mereka tidak bahagia. Karena alasan ini dan itu, akhirnya membuat mereka sakit
hati. Namun, kalau di luar lingkungan keluarga, misalnya dalam karier,
kepinteran, pangkat, kapasitas, dan kualitas, silahkan mengusung bendera
persamaan gender. Sak iki akeh wong wedok sing luwih juara timbang wong
lanang. Misalnya juara-juara sekolah saat ini kebanyakan adalah wanita.
Jadi, siapa yang berprestasi, maka dia berada di depan. Namun semua itu di
dalam bidang sosial, bukan di bidang shalat. Karena jika wanita shalat di
depan, maka akan mengganggu kekhusuan shalat. Lek wong wedok dadi imam, wong-wong
rebutan nggolek panggonanan persis ndek mburine imam. Lalu ngenteni
lek imam rukuk, ndeke iso nyundul. Semua itu justru akan membuat
kacau, namun ngono-ngono itu nggak dipikir. Di antara mereka ada
yang protes, kenapa wanita kok ndak boleh jadi imam? kenapa kok
bagian waris wanita cuma separo?, kenapa kok laki-laki kalau
kencing cukup disiram saja, sedangkan kalau wanita harus dibasuh bersih?. Semua
itu ada sebabnya. Ojok diilokno!. Kesimpulannya, untuk di lingkungan
sosial menggunakan istilah persamaan gender (musawah), sedangkan kalau di
lingkungan keluarga menggunakan istilah keserasian gender (tawazun).
Yang juga termasuk bahaya dari dalam
adalah kekurangan rezeki. Keluarga bisa berantakan karena kekurangan rezeki.
Misalnya; korban lumpur di Sidoarjo. Anak-anak mulai berani kepada orang tuanya
karena tidak disangoni. Hal itu karena mereka semua nganggur,
rumahnya tenggelam, pekerjaannya hilang, dan mereka harus tidur di pasar tanpa
ada sekat antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. Kemudian muncullah
bencana sosial di sana .
Mulane, lek njalok nang Pengeran iku, njalok selamet lan
rezeki kang barokah (halalan thayyiban). Orang yang sangat
kekurangan ekonominya akan mengakibatkan kerusakan dalam keluarga. Oleh karena
itu, harus ada do'a dan kerja sekaligus.
Saya dapat titipan dari ulama' sepuh,
Para Jama'ah yang mempunyai sebidang tanah yang masih longgar, baik di depan
maupun di belakang rumah, hendaknya tanah itu ditanami dengan tanaman yang
produktif dan bisa dimakan, misalnya; ubi-ubian (polo pendem). Saya
sendiri tidak tahu alasannya, karena para Kyai itu biasanya ndak mau
terus terang. Kyai itu hanya berkata: "Jogo-jogo lek wong-wong nggak
kuat tuku beras". Saya bertanya: "Kok saget ngoten, Kyai".
Lalu dijawab; "Ojok takon terus". Setelah saya pikir-pikir,
sekarang impor beras masih berjalan terus, sedangkan Negara-negara pengimpor
beras – misalnya; Vietnam
– sekarang sedang mengalami kekeringan dan menurunnya hasil panen. Ada kemungkinan nanti
tidak bisa impor beras karena sing dituku nggak onok. Mudah-mudahan hal
itu tidak terjadi, tapi bagaimana kalau benar-benar terjadi?. Apalagi satu
hektare tanah yang kalau ditanami padi hanya menghasilkan produksi 6 ton, namun
kalau ditanami polo pendem bisa menghasilkan 60 ton, dan itu sudah cukup
buat makan selama satu tahun.
Adapun sangguan dari luar terhadap
keluarga itu ada dua macam, yaitu:
Gangguan
hati. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Naas : 4-6
Dari kejahatan (bisikan)
syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada
manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Dari (golongan) jin & manusia.
Gangguan
akhlaq. Misalnya; Pergaulan, seks bebas, narkoba, ora sembahyang, lek
ndelok pertunjukan musik, tingakahe nggak karu-karuan, trek-trekan,
dsb.
Anak-anak kita harus kita peringatkan
secara dzahir dan bathin. Secara bathin dengan cara-cara yang saya sebutkan di
atas, sedangkan secara dzahir melalui peringatan kepada anak. Inilah yang
dimaksud dengan firman Allah SWT dalam Surat
:
Jadi,
fafirru ilallah itu bukan hanya dzikir saja, namun juga melaksanakan perintah
Allah SWT yang lainnya.
Hari ini, yang rusak di Negeri ini bukan
hanya ekonomi, politik, maupun pendidikan saja, namun pikiran manusianya yang
sudah rusak. Misalnya; Ada anggota DPR ngeluruk
nang Jakarta
ngurus rapelane dhewe. Mereka itu dijadikan anggota DPR agar mengurusi
rakyat, la kok ngurusi awake dhewe. Iki jenenge wong stres.
Namun, mereka masih rumongsho bener. Sifat rumongsho bener itulah
penyakitnya. Ketika yang sakit adalah pikiran manusia, maka ora ono sing iso
dandani kejobo atas idzin Allah SWT. Ndandani masalah ekonomi iso
dirunding bareng, namun kalau untuk memperbaiki pikiran manusia,
apakah kepalanya yang harus dibor?.
Demikianlah peringatan dari Imam
Al-Ghozali RA dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT dalam Surat
At-Tahriim : 6 di atas. Tangan kita sudah berat untuk menjangkau
masyarakat, oleh karena itu mari kita beresi keluarga masing-masing.
Anak kita nggak boleh ada yang nganggur, mereka harus mempunyai
pekerjaan masing-masing. Mudah-mudahan ilmu anak-anak kita bermanfaat dan
jangan sampai ilmu mereka mubadzir apalagi bisa membahayakan. Namun semua ini
juga tergantung kepada orang tua. Karir anak itu separo menjadi milik
anak itu sendiri, sedangkan yang separo lagi mergo do'anya
wong tuwo. Kalau wong tuwo nggak dungakno anak, sedangkan
sang anak nggak sembahyang, maka anak itu akan menjadi kosong. Di dalam
Al-Qur'an, anak itu terkategorikan menjadi beberapa macam, yaitu:
v Anak
sing dadi pepaes (ziinatun). Misalnya; Anak yang mempunyai
pangkat atau kepinteran. Mereka itu akan menjadi hiasan, namun perhiasan
di dunia saja, sedangkan akhiratnya masih belum jelas.
v Anak
yang menjadi fitnah (fitnatun lakum).
v Anak
yang menjdi musuh orang tua ('aduwwun lakum). Mereka memusuhi orang tua
bisa jadi karena aqidahnya yang tidak sama. Oleh karena itu, kita harus
memperhatikan di mana anak kita belajar agama. Bisa jadi, setelah dia pulang ngaji,
dia akan mengharamkan tahlil, ziarah kubur, dsb. Mbiyen sing ngono iku
Muhammadiyah, tapi sekarang orang Muhammadiyah sudah melok Tahlil,
sedangkan anak-anak NU akeh sing melok tarawih 11 roka'at, golek
kortingan 60%. Namun sekarang ada gelombang baru yang suka mempersoalkan
semua itu lagi. Misalnya; Tahlil dan Muludan nggak oleh.
Mereka itu ojok direken. Tapi bagaimana dengan anak kita?. Ada juga anak yang menjadi
musuh orang tuanya karena merasa kepentingannya dipenggal.
v Anak
yang paling bagus adalah anak yang qurratu a'yunin. Jika kita mempunyai
anak golongan terakhir ini, maka kalau kita meninggal dunia nanti, kita aan disuwuri
do'a oleh mereka.
Kalau kita ingin memperpanjang amal kita,
maka perpanjanglah melalui anak kita. Amal kita akan habis pada waktu kita
meninggal dunia, namun anak kita bisa melanjutkannya. Mereka bisa mengirim do'a
dan sebagainya.
Mugi-mugi Para Jama'ah sekalian diiparingi
selamet, rezeki sing berkah, Bapak-bapak diparingi kemampuan muhasabah
(instropeksi diri), Ibu-ibu diparingi kemampuan melakukan shalat Dhuha
dan Tahajjud, mugi-mugi putra-putri kita menjadi anak yang
shalih-shalihah, sehingga keluarga kita namanya keluarga sakinah. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar