TUJUAN DAN HAK-HAK DALAM IKATAN PERKAWINAN
Assalamualaikum, Sahabat
edufunia..!! kabarnya still ok kan ? akak zaenal akan melanjutkan posting
sebelumnya tentang hikmah pernikahan. Bahasannya nikah lagi ini sekarang,
maklum lagi pengen. J hehehe…
akhir-akhir ini sudah mulai ada temen tingkat/kelas yang sudah menempuh hidup
baru. Pertanyaannya adalah haruskah menikah? Apa sih tujuan menikah? Apa Hak
dan kewajiban dalam menikah ? dan
lain-lain. Here my sharing….
Pernikahan
adalah sesuatu yang sakral dan suatu bentuk pengikatan dua insan manusia.
Karena berkaitan dengan perasaan, hati dan cinta dsb. Ikatan pernikahan juga biasa
disebut dengan Mitsaqon Gholida (perjanjian yang sangat kukuh) dan
tentunya pernikahan/perkawinan memiliki tujuan-tujuan. Tujuan perkawinan
sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur'an yaitu pada surat ar-rum ayat 21, ada
3 macam yaitu :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î)
@yèy_ur Nà6uZ÷t/
Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4
¨bÎ) Îû
y7Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGt
ÇËÊÈ
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
1.
Sakinah (ketenangan)
Ada beberapa
istilah di dalam Al-Qur'an yang kelihatannya hampir sama, namun sebenarnya berbeda.
Sakinah itu ketenangan atau ketentraman, sedangkan Thuma'ninah itu renungan. Dalam
bahasa Jawa, Sakinah itu tentrem, sedangkan Thuma'ninah itu anteng.
Tenang itu belum tentu anteng. Thuma'ninah (anteng) artinya ada
pengendapan pikiran, sedangkan Sakinah itu tentram dan tenang. Di dalam Thuma'ninah
itu ada unsur peresapan pemikiran dan renungan. Salah satu rukun shalat itu anteng,
bukan tentrem. Ada lagi istilah, Mahabbah (seneng). Senang dengan
tentram itu berbeda. Senang terkadang bikin tentram, kadang tidak. Kalau
kesenangan itu haq (benar), maka akan menjadi Sakinah. Kalau kesenangan
itu bercampur dengan nafsu, maka dia akan melahirkan gejolak atau kekacauan,
baik dalam dirinya maupun di dalam keluarganya.
2.
Mawaddah
Mawaddah itu cinta
atau katresnan, akan tetapi disertai dengan tanggung-jawab, sedangkan kalau
mahabbah itu hanya senang saja. Jadi, Al-Mawaddah berarti Al-Mahabbah wa Dhiman
(Mawaddah adalah cinta dan tanggung jawab).
3.
Rahmat
Rahmat itu ada berbagai macam jenis,
antara lain:
v
Rahmat kehidupan (Rahmatul
Hayaat atau Rahmat Dunyawiyyah). Misalnya; rezeki, ketenangan, ketentraman,
keserasian, keturunan, silaturrahim, dsb.
v
Rahmat Uluhiyyah, yaitu Rahmat dalam hubungan kita dengan
Allah SWT. Orang yang sudah menikah dianggap sempurna sebagai orang. Jadi, ada Rahmat
ketuhanan, yaitu hubungan manusia dengan Allah SWT.
v
Rahmat 'Ubudiyah (Rahmat Ibadah). Contoh; Pahala shalat orang
yang sudah berkeluarga itu lebih banyak dari pada orang yang belum menikah (joko).
Disebutkan di dalam Hadits bahwa pahala shalat orang yang sudah menikah itu berlipat
70 kali. Kenapa demikian? Karena orang yang masih joko itu tidak pernah
mendo'akan anaknya, sedangkan orang yang sudah menikah itu mendo'akan istri,
anak dan keturunannya sebagaimana do'a yang terdapar dalam Surat Al-Furqan : 74
di bawah ini:
$oY/u
ó=yd
$oYs9
ô`ÏB
$uZÅ_ºurør&
$oYÏG»Íhèur
no§è%
&úãüôãr&
$oYù=yèô_$#ur
úüÉ)FßJù=Ï9
$·B$tBÎ)
ÇÐÍÈ
Dan orang orang
yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.
Dari sini saja sudah kelihatan perbedaan antara joko
dengan orang yang sudah menikah. Ketenangan seorang suami juga membawa ketenanang
pada yang lain. Suami sebagai pemimpin keluarga, teladan anak, dll. Itu semua adalah
Rahmat. Jadi dalam pernikahan itu ada Sakinah, Mawaddah dan Rahmat. Berikut ini
uraiannya:
Sakinah itu hidup
tenang, tentram dan stabil. Stabil berarti tetap bertahan ketika ada goncangan,
bukan berarti bahtera rumah tangga tanpa goncangan. Jadi ketika menghadapi
suatu goncangan, di sana ada pemecahannya. Tidak betul kalau orang yang sudah menikah
disebut tentram, lalu tidak ada apa-apa, karena hidup ini tidak mungkin tidak
ada apa-apa, pasti ada gelombangnya. Insya Allah, dengan satu keluarga
yang tangguh, seseorang akan tetap stabil dalam menghadapi goncangan-goncangan
itu.
Kalau seseorang
menikah, maka senangnya itu kira-kira 6 bulan sebagai bulan madu. Ketika sudah ganti
bulan ke-7, bulannya sudah tidak lagi semanis madu, mungkin sudah sepet
(pahit). Pada saat istri mengandung saja, keadaan sudah repot. Istri memerlukan
obat, ada juga istri yang rewel ketika mengandung, ngidam, dsb.
Terkadang ada istri yang ngidam, tiap hari ingin ngambu kreweng.
Kalau istri saya ngidam, pasti masuk Rumah Sakit, karena tidak mau makan maupun
minum. Pada saat-saat itu yang namanya bulan madu sudah hilang, ganti menjadi
bulan tanggung-jawab. Ketika anaknya sudah terlahir, orang tua akan gembira; namun
mengurus anak adalah tanggung-jawab orang tua. Dari situasi naik turun ini,
tetap ada stabilitas. Mempunyai anak sebelum kawin, kemudian istrinya ngidam,
berarti hal itu adalah kecelakaan, bukan tanggung jawab. Maka di sana tidak
mungkin ada Sakinah. Oleh karena itu Allah SWT memperingatkan bahwa hanya melalui
perkawinan, akan muncul Sakinah. Peringatannya, jika keluar dari jalur pernikahan,
maka jangan harap ada Sakinah. Nah, Sakinah itu berarti stabilitas, termasuk
ketika ada goncangan yang menerpa.
Mawaddah adalah
cinta kasih dan tanggung jawab kumpul jadi satu. Tanggung jawab apa?,
Yaitu tanggung jawab terhadap hak-hak wanita (istri). Jika ada kecintaan dan
tanggung jawab, maka Allah SWT akan memberikan Rahmat di belakang perkawinan
itu. Rahmat Allah SWT itu banyak sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Contoh
Rahmat kehidupan dalam pernikahan; Yang asalnya orang lain akhirnya menjadi besan,
mantu, mertua, ipar, dll. Silsilah keturunan hanya berasal
dari perkawinan. Dari situ kemudian muncul istilah mahram dan bukan mahram.
Hukum waris juga ada setelah ada keturunan. Oleh karena itu, perkawinan disebut
dengan separo agama (Nishfuddin), karena separo agama itu mulek
di lingkungan perkawinan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Rumah tangga
harus dimodali dengan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam salah satu Hadits Nabi
SAW disebutkan:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. وَخِيَارُكُمْ،
خِيَارُكُمْ لِنِسَائِكُمْ خُلُقًا
Sebaik-baik orang
adalah orang yang akhlaqnya baik. Dan orang yang terpilih di antara kamu semua adalah
orang yang terpilih di dalam bersikap (berakhlaq) baik kepada istri-istrinya.
Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW di atas, maka sikap baik
di dalam keluarga harus dimulai dari pihak laki-laki. Ada sebuah Hadits:
فَإِكْرَامُ
الْمَرْأَةِ دَلِيْلُ الشَّخْصِيَّةِ الْمُتَكَمِّلَةِ، وَإِهَانَتُهَا عَلاَمَةٌ
عَلَى خِسَّةِ وَاللَّئُمِ
Penghargaan seorang
suami pada istri menunjukkan suami itu mempunyai kepribadian yang sempurna
(cukup). Dan penghinaan suami kepada istri menunjukkan bahwa suami itu penuh
cela dan cacat.
Perlu diselidiki
dalam ilmu psikologi kebenaran pernyataan di atas, yaitu orang yang baik sama
istrinya, berarti dia orang baik; dan jika orang itu menyia-nyaikan istrinya,
berarti dia memang orang yang tidak baik. Dalam sebuah Hadits disebutkan:
مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ، وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ
اللَّئِيْمُ
Hanya laki-laki
yang mulya, yang memulyakan wanita & hanya laki-laki yang hina, yang menghinakan
wanita.
Hadits ini bersifat
secara umum, sedangkan Hadits sebelumnya bersifat khusus antara suami dengan
istri.
Semua persoalan-persoalan
keluarga tidak boleh dibawa keluar ke masyarakat, karena hukumnya haram. Persoalan-persoalan
keluarga harus disimpan sendiri. Jangan sampai engkau ngede-ngedel dan ngelek-ngelekno
anak dan istrimu di hadapan masyarakat, termasuk kepada mertua sekalipun,
kecuali hal itu diperlukan dalam penyelesaian masalah. Jadi, jangan gampang-gampang
lapor, selesaikan sendiri di dalam keluarga. Jika tidak bisa, boleh lapor, tapi
yang dilaporkan itu masalah, bukan musykilah. Masalah adalah apa yang
perlu dipecahkan, sedangkan Musykilah adalah ruwet-ruwet sing gak karuan
yang tidak perlu disampaikan. Hanya hal-hal yang perlu dipecahkan saja yang
boleh disampaikan kepada orang tua atau mertua. Sedangkan kalau dilaporkan kepada
orang lain yang tidak ada sangkut pautnya, hukumnya haram menurut Rasulullah
SAW.
Biasanya
arisan merupakan sumber infotainment, sedangkan infotainment itu isinya cuma ngerusak
saja. Cuma yang saya heran adalah kenapa silibriti itu kok senang ngguya-ngguyu
koyo bedes, padahal keluarganya diudel-udel begitu, hanya karena
sekedar mencari kemasyhuran. Padahal yang dibutuhkan dalam keluarga itu
keluhuran, bukan kemasyhuran.
Dalam sebuah
Hadits Shahih Bukhari riwayat Abu Hurairah RA disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ
فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ
Hadits di atas bermakna : Yang sering-seringlah menasehati para wanita dan ndak
bisa sekali jadi. Kenapa?, Karena wanita itu dibuat dari tulang rusuk orang laki-laki.
Tidak ada tulang rusuk yang lurus, pasti bengkok. Oleh karena itu wanita tidak
bisa dituntut terus terang seperti laki-laki, pasti ada menggak-menggok-nya.
Di situlah letak seninya. Jika wanita tidak mau, tidak mesti tidak mau;
atau wanita itu seperti orang yang lari, tapi minta dikejar sebagaimana dalam film-film
India. Jadi yang dimaksud dengan " الضِّلَعِ " adalah sesuatu yang tidak rasional, tapi indah.
Letak
perbedaan wanita dengan diplomat adalah kalau diplomat itu bilang "ya",
itu belum pasti "ya", karena diplomat itu biasanya menghindari
kata-kata "tidak". Misalnya diplomat tidak setuju akan sesuatu, maka dia
akan berkata; "Nanti kita pikirkan", padahal dia tidak memikirkan. Sedangkan
kalau wanita itu bilang "tidak", itu belum pasti "tidak".
Kalau wanita
marah-marah dan menyuruh kita pergi, kita jangan pergi, karena maksudnya adalah
supaya kita tidak pergi. Anehnya di sini dan justru seninya terletak pada
keanehan tersebut. Jadi kata " الضِّلَعِ " juga bisa dimaknai wanita itu lebih ingin "mengukur"
dari pada ingin dituruti. Misalnya: Kalau kamu pergi ke rumah wanita, sebenarnya
wanita itu ingin menemuimu, namun hanya untuk melihat reaksimu.
Allah SWT
menciptakan makhluknya beraneka ragam. Wanita itu emosinya di atas rasio,
mungkin dengan prosentase emosi 60% dan rasio 40 %, sedangkan laki-laki itu rasio
60 % dan emosi 40 %. Sehingga kalau mau kirim surat, harus disertai kata-kata yang
menyenangkan emosinya, jangan seperti telegram. Kalimat tersebut dibuat untuk menyentuh
bagian emosi 60% kaum wanita, di samping bagian rasio. Dengan demikian, maka
yang terjadi adalah al-mu'asyarah bil ma'ruf (tata pergaulan
kekeluargaan menurut Islam).
Karena suami
mempunyai tanggung jawab, maka dia juga mempunyai hak-hak atas istri:
1.
Hak satu derajat di atas hak wanita.
Misalnya: Hak
menjatuhkan thalaq. Hanya dengan tanggung-jawab suami yang hilang, istri boleh
minta cerai melaui pengadilan dan semacanya. Namun proses menuju sana harus ada
ishlah (perbaikan) di antara keduanya dan mendatangkan sesepuh
kedua belah pihak. Jika tidak "ketemu", maka dilanjutkan ke
pengadilan.
Adapun hak untuk
mencerai itu aslinya berada di tangan laki-laki. Sekalipun demikian, namun
Rasulullah SAW mengingatkan melalui Hadits dalam kitab Sunan Abu Daud:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ
إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
Barang halal yang paling
dimurkai oleh Allah adalah cerai.
Di sini,
banyak orang-orang di luar Islam yang mengkritik perceraian. Mengapa Islam
membolehkan perceraian?. Pertanyaan ini banyak dipertanyakan oleh agama-agama
di luar Islam atau oleh negara-negara di luar negara Islam. Menurut mereka, Apakah
memberikan hak cerai ini bukan sebuah kedzaliman?. Jawabannya adalah bahwa
perceraian itu baru dimungkinkan terjadi pada saat emergency (darurat).
Tadi sudah
disebutkan seorang laki-laki mempunyai hak menjatuhkan thalaq, tapi sudah diberi
tahu bahwa thalaq itu tidak disukai oleh Allah SWT. Seorang istri pun kalau
ingin cerai, harus melalui proses-proses yang berat.
Kenapa cerai
masih dimungkinkan terjadi? Pertama: untuk menghindari perbuatan fakhsya';
Kedua: untuk menghindari perbuatan mungkar. Misalnya: Ada seorang wanita yang sudah
tidak berfungsi atau laki-lakinya yang tidak berfungsi, maka pasangannya biasanya
mau kawin. Ketika dia mau kawin, kemudian kok digandoli, maka akhirnya dia
berbuat nakal. Jadi, sebenarnya perselingkuhan itu sangat dihindari oleh Islam.
Beda dengan orang-orang Barat yang mengkritik cerai, tapi mereka berbuat
selingkuh semaunya saja. Hal itu sudah menjadi budaya di mana-mana di negara
Barat. Akhir-akhir ini banyak juga perceraian di kalangan mereka, terutama kalangan
selebriti. Bintang-bintang film di sana juga sering kawin-cerai.
Memang ada
agama yang tidak memperkenankan perceraian. Sedangkan di dalam Islam, perceraian
adalah alternatif terakhir, kalau sudah tidak ada jalan lain. Perceraian ini sama
halnya dengan poligami. Poligami juga mendapat banyak kritikan dari orang luar.
Padahal poligai di dalam Islam itu bukan ketentuan, melainkan alternatif
(pilihan) semata. Bukan orang Islam disuruh untuk poligami, karena yang
diperintahkan adalah menikah dengan satu istri. Baru kalau ada faktor-faktor
lain, seseorang diperkenankan untuk menikah lagi (poligami). Itupun untuk
menghindari hubungan yang tidak sah. Di dalam Islam, hubungan tidak sah itu termasuk
penghinaan, sedangkan orang Barat menganggap hubungan tidak sah sebagai
kebebasan. Di sini ada perbedaan pengukuran.
Selain alasan
di atas, kita tidak tahu Allah SWT menciptaan berapa laki-laki dan wanita di
suatu negeri. Misalnya: Di Jatim ini wanitanya lebih banyak dari pada
laki-laki, sedangkan di Prancis itu laki-laki lebih banyak dari pada wanita,
adapun di Mesir itu jumlah laki-laki dan wanita relatif sama. Kalau jumlah laki-laki
yang banyak, maka orang laki-laki sulit untuk kawin lagi. Kalau jumlah
laki-laki dan wanita sama, maka bisa menikah dengan satu orang saja sudah Alhamdulillah.
Sedangkan kalau jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki, maka wanita-wanita yang
"tersisa" itu mau diapakan?. Misalnya: Jumlah laki-laki sebanyak 1000
orang, sedangkan jumlah kaum wanita sebanyak 1300, kemudian poligami dilarang
keras, maka wanita sebanyak 300 orang itu posisinya di mana?. Sebagai wanita
yang harus terhormat dan sebagai wanita yang harus mendapatkan suami yang
bertanggung jawab terhadap keturunan dan kehidupan, bukan dengan jalan maksiat.
Dalam kondisi seperti itu, maka alternatif (poligami) itu menjadi penting.
Alasan ketiga
poligami: Adat istiadat suatu tempat itu tidak sama. Di Barat, menikah lebih
dari satu orang itu dianggap seperti kurang terhormat. Sedangkan di Madura banyak
wanita yang ingin dinikahi oleh Kyai hanya ingin mempunyai anak yang nantinya dipanggil
"Gus". Jadi, di sana yang aktif justru kaum wanita.
Seperti contoh
teman saya di Asembagus yang mempunyai 4 orang istri. Itupun masih ada yang
antri untuk menjadi istrinya. Begitu juga teman saya seorang Kyai di Mojokerto
yang mempunyai 4 istri. Anehnya mereka berempat tinggal di dalam satu rumah dan
hidup tenang dan rukun. Jadi, dalam satu rumah ada empat kamar yang ditempati
oleh masing-masing istri.
Dalam
menanggapi masalah poligami ini, saya lebih senang mengatakan sebagai keleluasan
Islam untuk menampung seluruh keadaan di dunia yang berbagai macam, tapi tetap
tidak melanggar syari'at Nabi Muhammad SAW. Bagaimana yang di Barat, di Timur,
Afrika Selatan, Indonesia?. Bagaimana negara yang laki-lakinya lebih banyak? Bagaimana
yang wanitanya lebih banyak?, dsb. Sehingga dengan demikian aturannya tidak
kaku, justru menjadi kenyal untuk menampung berbagai macam keadaan tersebut.
Sekalipun demikian, dia tidak melanggar konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah.
Mawaddah itu mengharuskan tanggung-jawab. Orang yang tidak resmi menikah, tidak
ada tanggung jawabnya. Jadi, di sini kita melihatnya sebagai Rahmatan lil
'alamin.
Kalau dilihat
adat istiadat satu persatu, mungkin suatu adat istiadat cocok terhadap satu
alternatif, namun belum cocok dengan alternatif yang lain. Tetapi kalau melihat
pada adat di dunia secara keseluruhan, maka akan tiba pada kesimpulan tidak
cukup hanya dengan satu alternatif saja.
Adapun hal-hal
yang bertentangan dengan syari'at Islam, betapapun hal tersebut telah menjadi
adat istiadat sebuah masyarakat, maka adat itu tetap tidak boleh. Misalnya; Ketika
saya pergi ke Lombok, di sana ada suku Sasak. Di daerah suku Sasak ini ada adat
perkawinan yang aneh. Jika seorang laki-laki ingin menunjukkan cintanya kepada
wanta, maka sebelum kawin, wanita itu harus diculik terlebih dulu dan di bawa
pergi jauh dan hidup bersama selama satu minggu. Kalau wanita sudah lungset,
baru si laki-laki lapor kepada calon mertua. Lari ini dinilai sebagai tanda
cinta. Sekalipun hal seperti ini merupakan bagian dari budaya, namun tidak usah
diakomodasi dalam Islam. Yang diakomodasi adalah yang ada kecintaan dan
tanggung jawab yang bersifat duniawi dan ukhrawi, baik kepada keturunannya,
keluarganya maupun kepada Allah SWT.
Nah, bahwa dalam
suatu perkawinan ada yang ditambah-tambahi, itu hukumnya boleh. Yang penting kan
ada calon suami-istri, wali, akad dan saksi. Ini yang sifatnya yuridis
formal. Misalnya: Di dalam adat perkawinan di Solo ada siraman, membawa
keris, dsb. Begitu juga dengan adanya janur kuning, pisang yang berbuah supaya gampang
punya anak. Semua itu hanya variasi dan tidak masuk lingkup hukum, namun
termasuk budaya. Sedangkan berkenaan dengan budaya ini, ada sebuah qa'idah
fiqih yang menyatakan bahwa sepanjang suatu budaya tidak nabrak
syari'at, maka silahkan kembalikan kepada adat budaya.
Semoga yang
ingin menikah diberi kemampuan untuk menikah dan ketika sudah menikah diberi kemampuan
untuk mengarungi rumah tangga dengan baik. Aminn