Klasifikasi BID’AH
Assalamualaikum sahabat Edufunia, sebelum tulisan/catatan
pesantren ini dibaca, akak zaenal ingin bercerita tentang sedikit diskusi
dengan ustadz akak di pesantren firdaus. ringkas dan sederhananya diskusi
tersebut tentang hadist bahwa "setiap bid'ah adalah sesat dan setiap
kesesatan masuk neraka". pertanyaannya adalah kalau semua bid'ah sudah
dihukumi sesat, mengapa harus ada pengklasifikasian bid'ah hasanah (baik) dan
bid'ah dholalah (sesat). ini dia penjelasannya. selamat menikmati. ^_^
Bid’ah berasal dari bahasa Arab ; بــدع – يـبــدع – بــدعــة . Kata ini bermakna ; Tambahan atau
buatan. Namun yang dimaksud ‘tambahan’ dalam konteks ini adalah tambahan yang
bertentangan dengan syari’at Islam yang telah berlaku. Sehingga kita tidak
boleh menambah-nambah ajaran yang bertentangan dengan pokok agama Islam. Hadits Rasulullah SAW :
كــل بــدعــة ضــلا لــة ، وكــل ضـلا لــة فـي الـنــار
“Setiap tambahan dalam agama (Islam) adalah tersesat,
dan setiap kesesatan akan bertempat di neraka”.
Ada dua penafsiran berkenaan dengan
pengertian bid’ah ;
1. Setiap tambahan dalam agama Islam adalah
bid’ah, hal ini sesuai dengan Hadits di atas.
2. Tambahan dalam agama Islam terbagi menjadi
dua. Yaitu tambahan yang bertentangan dengan syari’at, dan tambahan yang tidak
bertentangan dengan syari’at. Tambahan yang tidak bertentangan dengan syari’at
ini tidak temasuk pengertian bid’ah dalam Hadits di atas.
Berkenaan dengan penafsiran yang kedua di
atas, akhirnya bid’ah dibagi menjadi 2 macam ;
1. Bid’ah
Dhalalah ; Yaitu bid’ah yang mengatur persoalan yang sebenarnya sudah
diatur oleh syari’at, dan tambahan aturan yang dikemukakan ternyata
bertentangan dengan syari’at Islam.
2. Bid’ah
Hasanah ; Yaitu bid’ah yang mengatur persoalan yang belum diatur oleh
syari’at Islam, dengan syarat, aturan yang dikemukakan tidak bertentangan
dengan syari’at, bahkan bisa memperkuat syari’at Islam.
Hukum bid’ah di dalam ajaran Islam
terklasifikasi menjadi 2 macam yaitu ;
1. Bid’ah
di dalam ibadah hukumnya haram.
Poin ini berkenaan dengan posisi ibadah mahdhah yang
tidak boleh diotak-atik lagi. Kalaupun ada perubahan, perubahan tersebut harus
berasal dari syari’at itu sendiri. Contoh ; Saat dalam perjalanan jauh yang
memenuhi syarat yang ditentukan, seseorang diperkenankan untuk shalat dengan
cara yang tidak seperti biasanya. Misalnya ; shalat Jama’, shalat Qashar, dll.
Orang yang shalat menggunakan bahasa
Indonesia termasuk bid’ah dhalalah, karena prinsip di dalam shalat sebagaimana
ibadah mahdhah yang lain adalah ‘semua dilarang, kecuali yang sudah diatur oleh
syari’at Islam’.
Di Amerika ada wanita yang meminta hak untuk
menjadi seorang imam bagi makmum pria ketika shalat berjama’ah. Namun Islam
tidak mengenal aturan main seperti ini, sehingga permintaan wanita itu termasuk
bid’ah dhalalah. Dan secara logis, jika permintaan tersebut dikabulkan,
dikhawatirkan bisa mengganggu kekhusyu’an makmum lelaki yang berada di belakang
imam wanita.
Jika tambahan tidak menyangkut shalatnya,
hukumnya boleh-boleh saja. Seperti shalat dengan memakai jaket atau pakaian
apapun asal menutupi aurat. Karena semua itu hanyalah ‘aksesoris’ shalat.
Menutup aurat termasuk bagian dari masalah
sosial, sehingga pada prakteknya bisa disesuaikan dengan kebudayaan
masing-masing individu.
Bagaimana hukum mengucapkan lafadz أصــلـي فــرض الـظـهــر .. إلـخ (Saya niat shalat fardhu Dzuhur…)
sebelum takbiratul Ihram? Ketentuan di atas
sebenarnya merupakan kreasi Imam Syafi’i Ra. yang dimaksudkan untuk menata
pikiran dan hati sebelum melakukan shalat.
Secara objektif, pelafalan lafadz niat bukan
terkategorikan sebagai bid’ah, karena pelafalannya berada di luar shalat, yaitu sebelum takbiratul
ihram. Sedangkan seperti yang kita maklumi bersama, bahwa yang dimaksud dengan
shalat adalah ibadah yang dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan
salam.
Dalam perkembangannya, dalam merespon hukum
kasus di atas, ada pihak yang pro dan ada yang kontra. Ada cerita, ketika ada
orang Jawa yang pro pelafalan niat, dipaksa untuk menunjukkan dalil yang
mendasari ‘keyakinannya’ itu. Karena terpojok, sebagai langkah terakhir dia
mengemukakan dalil berupa Hadits ;
صــلــوا كــمــا رأيـتـمــونـي أصــلـي .
Artinya : sholatlah kalian sebagaimana
melihat aku sholat.
Namun pengucapannya agak ‘diselewengkan’,
sehingga berbunyi ; ‘Shallu kama ro-aitu muni ushalli’ , kata ‘muni
ushalli’ , berasal dari bahasa Jawa yang artinya ; ‘ucapkanlah Ushalli..’. hehehe...
Bid’ah juga merambah pada ibadah puasa. Puasa sudah ditetapkan waktunya, yaitu
dimulai dari shubuh sampai maghrib, sehingga puasa pati geni atau puasa wishal
adalah bid’ah dhalalah. Karena puasa tanpa berbuka adalah puasa yang tidak
sesuai dengan tuntunan syari’at Islam.
2. Bid’ah di dalam mu’amalah
hukumnya boleh, kecuali pada bagian-bagian yang sudah diatur oleh syari’at.
Prinsip di dalam mu’amalah adalah ‘semua
boleh, kecuali yang telah diharamkan syari’at Islam’.
Contoh : Jarak perjalanan yang bisa membuat
seseorang diperkenankan untuk shalat Jama’ maupun Qashar, tampaknya perlu
dikaji ulang. Karena pada saat ini, meskipun perjalanannya sangat jauh, namun
karena kecanggihan alat transportasi, membuat seseorang yang bepergian tidak
merasa capek.
Dalam hal ini Imam Asy-Syafi’I Ra.
berpendapat bahwa boleh-tidaknya menjamak atau mengqashar shalat adalah sesuai
dengan jarak yang ditempuh seorang musafir. Sedangkan Imam Hanafi Ra.
mendasarkan pada faktor kelelahan yang dirasakan oleh seorang musafir. Misalnya
; Perjalanan dari Surabaya ke Makkah hanya memerlukan beberapa jam, jika
menggunakan pesawat. Sehingga keletihan yang dirasakan tidaklah seberapa jika
dibandingkan dengan bepergian dari Malang ke Surabaya melalui jalan kaki.
Perbedaan 2 Imam Mujtahid di atas merupakan
Rahmat, namun banyak yang masih mempersoalkan perbedaan pendapat tersebut.
Mungkin orang yang mempersoalkan ikhtilaf ini adalah orang-orang yang
beranggapan bahwa bertengkar bisa mendatangkan pahala.
A.
Peran Adat Di Dalam Agama
Persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh
agama, dikembalikan pada adat setempat untuk mengaturnya. Dan pastinya harus
tidak bertentangan dengan Syari’at Islam. Kebijakan ini sesuai dengan kaidah
fiqih ;
مــاورد فــي الـشــرع مـطـلـقــا ولا ضــابـطـا لــه ،
فــيــرجــع إلـى الـعــرف
Sesuatu yang diatur syara’ secara muthlaq (garis besar) saja,
tanpa ada batasan yang pasti. Maka (pengaturan) sesuatu tersebut dikembalikan
pada ‘urf
Pengertian Urf
lebih umum dari pada adat, karena ‘urf bisa berbentuk musyawarah (demokrasi) dan
bisa berupa keputusan yang diambil dari musyawarah tersebut.
B. Contoh
adat yang tidak bertentangan dengan syara’ :
. Kewajiban seorang anak harus
sopan kepada kedua orang tua sudah diatur Al-Qur’an, namun bagaimana praktek
kesopanan tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Di sinilah hukum adat –sebagai
sebuah konvensi - diberi tempat untuk mengaturnya, asal tidak
bertentangan dengan syari’at Islam. Iring-iringan pengantin khas Jawa dalam
pernikahan, menghias rumah dengan janur, dll. Di Aceh diadakan pesejuk sebagai jamuan
untuk tamu yang datang. Hidangannya berupa nasi kuning dan sekapur sirih. Jika
tamu menolak, dia dianggap menghina atau tidak menghormati.
C. Contoh
adat yang bertentangan dengan syara’ :
Di dalam suku Sasa di Lombok, tanda saling
menyintai antar kekasih adalah jika si pria membawa lari pacarnya, setelah
‘luset’ baru si pria minta ijin kepada orang tua si wanita untuk menikahi
anaknya.
Adat terbagi menjadi dua ;
1.
Adat yang bertentangan dengan Aqidah.
Yaitu adat yang bisa sangat membahayakan ketauhidan seseorang,
sehingga pada klimaksnya membuat seseorang kufur atau musyrik kepada Allah SWT.
Contoh : Di Magelang ada adat yang mengharuskan pengantin pria
untuk menginjak telur sampai pecah. Adat seperti ini bisa membahayakan aqidah,
ketika seseorang bercerai dengan pasangannya. Yaitu jika dia beranggapan bahwa
penyebabnya adalah telur tersebut.
2.
Adat yang bertentangan dengan
Syari’at.
Contoh :
Wanita India harus berpakaian yang memperlihatkan pusarnya ketika dia
menghadiri resepsi pernikahan. Adat seperti ini tidak boleh diikuti oleh wanita
muslimah di India.
فــمــاذا بــعــد الـحــق إلا الـضــلا ل مــافــرطــنــا
فــي الـكــتــاب مــن شـيــئ
Ayat di atas menunjukkan bahwa apapun di luar perkara yang haq,
pasti merupakan kesesatan. Al-Qur’an sudah meliputi segala persoalan, maknanya
; apapun yang tidak disebut oleh Al-Qur’an, berarti menjadi daerah kreasi
pemikiran bagi manusia. Pada poin ini menunjukkan perlunya
pengembangan agama, asalkan tidak bersifat dekonstruksi.
Ketika pengembangan agama tidak sejalan
dengan syari’at Islam, maka yang terjadi adalah pembongkaran agama, semisal ;
Pengguguran kandungan karena alasan perkosaan. Padahal syari’at jelas-jelas
mengharamkan pengguguran kandungan di atas 4 bulan.
Sedangkan pengembangan agama yang sejalan
dengan syari’at Islam berfungsi untuk memperkuat Islam itu sendiri. Misalnya ;
Peremajaan kitab-kitab fiqih yang dipandang perlu untuk dikaji ulang. Contoh ;
Di dalam Fathul Mu’in, jika seseorang akan membeli sesuatu, dia harus berkata ;
“Saya beli ini, Pak”. Sedangkan si penjual menjawab ; “Saya jual ini kepadamu,
Nak”. Ketentuan seperti ini akan terasa janggal bahkan lucu ketika diterapkan
saat ini. Seperti kasus seseorang yang akan mengambil uang di ATM, apakah
pantas dia berkata kepada ATM, “Saya ambil uang, Yaa!”.
Secara kasat mata, banyak kegiatan
bermu’amalah pada saat ini yang tidak bisa ‘menerima’ pendekatan fiqih abad
pertengahan. Namun yang boleh direvisi hanya menyangkut metode saja, bukan pada
pokok agama.
bid'ah semua sesat jika dikaitkan dengan
ibadah mahdoh karena prinsip dalam ibadah adalah segala sesuatu dilarang
kecuali yang telah diperbolehkan berbeda dengan prinsip muamalah yaitu segala
sesuatu boleh kucuali yang telah dilarang. Semoga kita bijak terhadap dalam
menyikapi berbagai sesuatu hal baru yang biasa disebut bid’ah. amin
0 komentar:
Posting Komentar