SKETSA ISLAM INDONESIA DI
MASA LAMPAU & MASA KINI
Sebagai intelektual atau calon
intelektual, kamu (para santri Pesma Al-Hikam Malang, red.) harus mengerti
aliran-aliran dalam Islam, agar tidak seperti katak dalam tempurung. Oleh
karena itu, malam ini saya akan memberikan gambaran secara umum mengenai
aliran-aliran Islam yang masuk ke Indonesia . Jadi, judul pengajian
malam ini adalah tentang aliran-aliran Islam di Indonesia. Tentu tidak pantes
kalau saya sebagai pengasuh Al-Hikam yang dikenal sebagai salah seorang yang
berusaha merakit Ukhuwah Islamiyyah – baik di Indonesia maupun di dunia (beliau adalah sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) )-
sedangkan kamu semua tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Kalau sampai kamu
ditanya orang, Apa yang dikerjakan oleh Pengasuhmu?. Jika kamu tidak bisa
menjawab, tentu tidak pantes. Begitu juga tidak pantes, kalau
kamu ditanya; Apa yang dimaksud dengan Syi'ah itu? Lalu kamu menjawab;
"Tetangga saya" Hehehe.... Oleh karena itu, saya akan membuat gambaran tentang
aliran Islam di Indonesia secara sekilas, karena kalau harus membahas
perbedaan-perbedaan aliran dalam Islam secara mendalam, tentu ada mata kuliah
tersendiri.
Islam masuk di Indonesia pada abad pertengahan.
Pada umumnya, golongan yang membawa Islam ke Indonesia bukanlah penguasa,
melainkan para pedagang. Mereka datang dari negeri Yaman, terutama dari Yaman
Selatan yang di sana ada kota bernama Tarim yang berada di kawasan
Hadramaut. Di daerah itu banyak sekali orang alim sekaligus sufi. Sufi dalam
hubungannya dengan nurani, dan alim dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
Selain orang-orang dari Yaman, para
penyebar Islam juga berasal dari India
dan Gujarat . Ciri khas dua negara ini adalah
adanya persenyawaan antara agama dan budaya yang sangat kental. Mereka masuk ke
Indonesia
untuk berdagang sekaligus menyebarkan Islam. Akhirnya pada abad pertengahan
itu, mulai timbul gerakan Islamisasi di Indonesia. Pada saat itu, Indonesia
sudah didominasi oleh agama Hindu dan Budha. Hindu dengan Majapahit-nya dan
Budha dengan Sriwijaya-nya. Selanjutnya terjadilah Islamisasi melalui gerakan
kultural, bukan melalui sistem pemerintahan maupun melalui peperangan,
melainkan melalui persenyawan antara agama dan budaya setempat. Hal ini
memungkinkan untuk terjadi, karena yang membawa agama Islam ke Indonesia
adalah orang-orang yang agamis sekaligus budayawan. Adapun para pemimpin
penyebar Islam ini kemudian disebut dengan Wali Songo. Jadi, Wali Songo itu
adalah pemimpinnya, karena wali itu sebenarnya sangat banyak.
Ketika Islam masuk di
Indonesia , Indonesia
saat itu sudah penuh dengan budaya, baik budaya lokal Indonesia – misalnya: Jawa, Sumatera, Kalimantan , Indonesia
Timur, dsb. – yang sudah sangat kental sebagai adat istiadat, maupun adat
istiadat yang sudah bersenyawa dengan Hindu-Budha. Kemudian Islam baru masuk
untuk melakukan proses Islamisasi. Oleh karena itu, pendekatan budaya di dalam
proses Islamisasi menjadi sangat mungkin terjadi, mengingat faktor pembawanya
dan faktor ajarannya. Yaitu para pembawa Islam saat itu merupakan muballigh
sekaligus budayawan, sedangkan ajaran Islam yang dibawa ke sini adalah ajaran
madzhab Imam Syafi'i RA. Ajaran Imam Syafi'i RA ini terkenal mempunyai
toleransi terhadap budaya, sepanjang budaya itu tidak bertabrakan secara
diametral dengan pokok-pokok ajaran Nabi Muhammad SAW.
Sikap
Islam ala ulama' Syafi'iyyun di atas tadi mempunyai toleransi terbatas terhadap
budaya, karena budaya sendiri terbagi menjadi beberapa kategori:
v Budaya
yang netral dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Misalnya; Sopan
santun. Budaya sopan santun itu bersifat netral, karena Islam tidak mengatur
hal itu. Budaya sopan santun ini bisa dimasukkan dalam kelompok "أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ"
. Maksudnya; Perkara-perkara seperti itu lebih kalian ketahui, karena merupakan
urusan duniamu. Contoh lagi adalah: Saya memakai kopyah dengan tinggi 9 cm,
sedangkan orang lain ada yang menggunakan kopyah dengan tinggi 14 cm. Hal-hal
seperti ini tidak diatur oleh Islam, karena yang diatur oleh Islam adalah
ketentuan menutup aurat.
v Budaya
yang serasi dengan agama dan dapat dijadikan alat agama. Misalnya; Gotong
royong. Pada waktu Islam datang, di Indonesia sudah ada budaya gotong royong.
Contoh; Ketika ada orang membikin rumah, maka para tetangga sekitarnya
berhenti bekerja sejenak untuk ikut membantu mendirikan rumah tetangganya.
Budaya seperti itu 'kan
bagus, karena selaras dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Maaidah :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur
(#qçRur$yès?
n?tã ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur 4 (
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan permusuhan
Jika suatu budaya itu selaras dengan agama, maka
menurut Imam Syafi'i RA, budaya itu bisa diperkuat oleh agama. Inilah yang
melandasi lahirnya kaidah العادة المحكمة (Adat istiadat dapat dijadikan pegangan
hukum). Contoh lain; Anak menghormati orang tua dengan cara cium tangan sudah
ada di Indonesia
sebelum Islam datang. Kalau seseorang lewat di depan orang yang lebih tua, dia
akan menunduk atau mengucapkan permisi.
v Budaya
yang salah namun masih bisa diperbaiki. Misalnya; Pada zaman dahulu, orang yang
keluarganya meninggal dunia akan melakukan ziarah kubur dan selametan, akan
tetapi niatnya tidak ditujukan kepada Allah SWT, melainkan kepada Kakik Danyang,
Nyi Roro Kidul, Mak Lampir, dsb. Semua itu dilakukan dalam rangka menghormati
para leluhur mereka.
Menurut Imam Syafi'i RA, di dalam Islam, menghormati leluhur itu hukumnya sunnah, akan tetapi harus disertai tauhid atau meng-esa-kan Allah SWT, tidak boleh musyrik. Oleh karena itu, kemudian diaturlah bagaimana carannya budaya selametan tetap jalan dan leluhur tetap dido'akan, akan tetapi do'anya ditujukan kepada Allah SWT. Dari sinilah timbul kegiatan tahlil, talqin, membaca Qur'an, membaca shalawat, dsb. Budaya-budaya seperti ini tidak ada di luar Asia Tenggara. Orang yang tinggal di Mesir, di SaudiArabia , dsb. kalau mereka meninggal
dunia, ya sudah nggak ada urusan apa-apa lagi. Jadi, kegiatan tahlil,
talqin, dsb. merupakan proses sublimasi atau pengalihan semangat ruh tauhid
kepada Allah SWT untuk menggantikan ruh syirik, dengan tanpa merubah bentuk
budaya yang sudah ada. Kalau kamu ditanya, Apa dalil tahlil?. Dalilnya adalah;
Kita diperintahkan untuk membaca kalimat Laa Ilaaha Illallah, sedangkan di dalam
tahlil juga membaca kalimat tersebut. Adapun mengenai sampai-tidaknya pahala
kepada si jenazah, maka jika memang nyampai, ya Alhamdulillah; kalau
tidak, ya ndak apa-apa, (nyampek atau tidak sama2 g ada yang tahu... wong g ada kwitansinya... :-) toh sudah membaca Laa Ilaaha Illallah
yang sudah pasti mendatangkan pahala. Jadi, yang dipersoalkan adalah kenapa
pahala tahlil itu kok ditransfer?, sedangkan muatan dzikir di dalam
tahlil sama sekali tidak dipersoalkan oleh orang-orang di luar madzhab Syafi'i
RA.
Contoh lain: Adat istiadat ketika panen padi. Pada masa dahulu, orang yang panen padi akan membawa tumpeng dan diletakkan di pematang sawah, kemudian tumpeng itu dibiarkan sebagai persembahan kepada Dewi Sri. Budaya seperti itu dicegah oleh Islam, namun masyarakat dahulu tetap diperkenankan untuk membawa tumpeng, hanya saja tumpeng itu diperuntukkan bagi orang yang mencangkul dalam status sebagai shadaqah. Setelah itu, bersama-sama memohon kepada Allah SWT. Demikian ini adalah contoh-contoh budaya yang salah, namun masih bisa diperbaiki. Nah, yang begini-begini inilah oleh orang yang bukan Syafi'iyyun, dianggap sebagai bid'ah, padahal pada awal Islam diIndonesia ,
hal itu justru dianggap sebagai alat dakwah. Demikian juga dengan tradisi
Maulid Nabi Muhamamad SAW. Anehnya, Maulid Nabi SAW dianggap bid'ah dhalalah di
Saudi Arabia ,
namun kalau memperingati rajanya, justru tidak dianggap bid'ah. Saya pernah
diundang untuk menghadiri acara untuk memperingati kekuasaan King Abdul 'Aziz,
padahal acara itu sama saja dengan Maulid Nabi SAW.
Menurut Imam Syafi'i RA, di dalam Islam, menghormati leluhur itu hukumnya sunnah, akan tetapi harus disertai tauhid atau meng-esa-kan Allah SWT, tidak boleh musyrik. Oleh karena itu, kemudian diaturlah bagaimana carannya budaya selametan tetap jalan dan leluhur tetap dido'akan, akan tetapi do'anya ditujukan kepada Allah SWT. Dari sinilah timbul kegiatan tahlil, talqin, membaca Qur'an, membaca shalawat, dsb. Budaya-budaya seperti ini tidak ada di luar Asia Tenggara. Orang yang tinggal di Mesir, di Saudi
Contoh lain: Adat istiadat ketika panen padi. Pada masa dahulu, orang yang panen padi akan membawa tumpeng dan diletakkan di pematang sawah, kemudian tumpeng itu dibiarkan sebagai persembahan kepada Dewi Sri. Budaya seperti itu dicegah oleh Islam, namun masyarakat dahulu tetap diperkenankan untuk membawa tumpeng, hanya saja tumpeng itu diperuntukkan bagi orang yang mencangkul dalam status sebagai shadaqah. Setelah itu, bersama-sama memohon kepada Allah SWT. Demikian ini adalah contoh-contoh budaya yang salah, namun masih bisa diperbaiki. Nah, yang begini-begini inilah oleh orang yang bukan Syafi'iyyun, dianggap sebagai bid'ah, padahal pada awal Islam di
v Budaya
yang harus dipotong (dihilangkan), karena merupakan budaya yang khurafat,
mungkaraat, atau maksiat, dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Contoh;
Di wilayah Lombok sebelah timur terdapat suku
Sasak. Di dalam suku itu ada budaya kalau seorang pemuda akan menikah, maka
sebagai tanda bahwa pemuda itu cinta kepada calon istrinya, dia harus menculik
dan membawa lari calon istrinya itu. Beberapa hari kemudian, ketika si wanita
sudah luset, baru mereka berdua bersama-sama menghadap kepada calon
mertua mereka. Adat istiadat seperti ini jelas tidak boleh dan tidak bisa
diperbaiki lagi, karena budaya ini sama dengan perzinahan. Oleh karena itu,
budaya seperti ini harus dipotong.
Di dalam proses Islamisi secara kultural
ini akhirnya mengakibatkan dua hal besar, yaitu:
v Masyarakat
Indonesia
berbondong-bondong masuk agama Islam dengan kesadaran, tanpa paksaan, dan tanpa
perang, namun melalui akulturasi budaya. Jadi, tidak ada perang agama di Indonesia . (berbeda dengan negara-negara lain).
v Kalau
gerakan dakwah kultural tadi sudah tuntas, berarti orang sudah dipindahkan dari
budaya kafir menuju pada budaya Islam, atau dari budaya syirik kepada budaya
tauhid. Ini kalau dakwah kultural tersebut benar-benar sudah khatam. Akan
tetapi ada juga orang-orang yang pembinaannya masih belum khatam, namun sudah
ditinggal wafat oleh generasi Wali Songo. Akhirnya mereka hanya mendapatkan
separo ilmu. Mereka mengerti Laa Ilaaha Illallah, namun tidak mengerti shalat.
Misalnya; Orang-orang kebathinan yang belum selesai di-Islam-kan secara
tuntas. Kelompok ini kemudian menjadi kelompok abangan. Kelompok abangan ini
bukan berarti tidak percaya kepada Allah SWT, hanya saja proses Islamisasi pada
mereka masih belum tuntas pembinaannya.
Pada saat jumlah penduduk Indonesia masih
sebanyak 45 juta, sekitar 90 % masyarakat di Indonesia masuk Islam melalui
proses akulturasi di atas. Selanjutnya datanglah gelombang pembaharuan Islam di
Indonesia yang dimotori oleh orang-orang dari Saudi Arabia dan sebagian
ulama'-ulama' Mesir. Mereka masuk ke Indonesia
ketika masyarakat Islam Indonesia
terdiri dari kaum santri dan kaum abangan. Gelombang kedua yang membawa bendera
pembaharuan Islam ini masuk ke Indonesia ,
akan tetapi mereka tidak bisa mengerti adanya proses akulturasi Islam dengan
budaya setempat. Dalam pikiran mereka: "Islam di sini kok macem-macem,
ada tahlillan, muludan, ini, itu, dsb; Sementara di negara saya
tidak ada tradisi seperti ini". Dari sinilah tumbuh gerakan pemurniaan
(purifikasi) Islam yang disponsori oleh Muhammadiyah. Sedangkan kelompok yang
mewarisi proses Islamisasi melalui akulturasi tadi mengelompok dalam wadah
bernama NU (Nahdlatul Ulama').
Posisi Muhammadiyah terhadap NU maupun
terhadap umat Islam adalah melakukan pemurniaan Islam dan modernisasi Islam,
karena masyarakat Islam pada saat itu masih sangat tradisional. Misalnya;
Santri-santri banyak yang tidak pernah memakai celana, ndak pakai sabuk
(ikat pinggang), ndak pakai celana dalam, Jeding di Pondok-pondok
Pesantren banyak lumutnya, dsb hahaha.... (kritikan buat pesantren NU yang kolot dan kotor). Sedemikian tradisionalnya umat Islam saat itu,
akhirnya ada antisipasi berupa modernisasi. Jadi, para pembaharu Islam ini
mengusung tema purifikasi (tashfiyah) dan modernisasi. Bagi Muhammadiyah,
kurikulum di Pesantren-pesantren hanyalah menghabiskan waktu semata. Misalnya;
Kurikulum fiqih. Pada tingkat dasar mempelajari Sullam Taufiq; tingkat lanjut
mempelajari Fathul Qarib; tingkat menengah mempelajari kitab Fathul Mu'in; dan
tingkat atas mempelajari kitab Fathul Wahab. Padahal semua kitab-kitab itu,
bab-babnya sama, cuma keterangannya saja yang berbeda. Menurut Muhammadiyah,
kurikulum seperti ini dianggap sebagai metodologi pembelajaran yang stagnan dan
tidak memproses pemikiran ke depan. Oleh karena itu perlu ada modernisasi.
Selain
mengusung tema purifikasi dan modernisasi, gelombang pembaharu Islam di atas
juga mengusung tema persatuan Islam dengan merujuk langsung kepada Rasulullah
SAW. Menurut mereka; "Kenapa orang-orang NU memakai pendapat Imam Syafi'i,
kok tidak memakai pendapat Al-Qur'an?". Oleh karena itu, slogan
yang mereka usung adalah "Kembali kepada Al-Qur'an dan
Hadits". Slogan ini sepertinya bener, tapi butuh penjelasan kembali.
Memang kita harus kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits, akan tetapi bagaimana
cara kembalinya?, (ini merupakan kritik buat muhammadiyah yang mengkritik NU) Al-Qur'an itu ibarat UUD
yang masih bersifat mujmal (global), sehingga Al-Qur'an itu harus
dirinci lagi melalui metode Tafsirul Qur'an bil Qur'an (Menafsiri suatu Ayat
Al-Qur'an dengan Ayat Al-Qur'an yang lain), atau melalui metode Tafsirul Qur'an
bil Hadits (Menafsiri Al-Qur'an dengan Hadits yang berfungsi sebagai penjelas).
Selanjutnya hasil tafsiran di atas masih harus dirinci lagi oleh pemikiran para
ulama' yang dikondisikan oleh ruang dan waktu, dari sinilah kemudian lahir
hukum positif Islam. Sama dengan UUD di Indonesia. Kalau ada orang tertangkap
karena mencuri sepeda motor, maka dasar hukum untuk menangkapnya bukan mengacu
pada UUD 45, melainkan mengacu pada ketentuan KUHP yang merupakan rincian UUD
45 yang jenjangnya sudah nomor kesekian. Ini bagaimana, orang disuruh kembali
kepada Al-Qur'an dan Sunnah, akan tetapi tidak diberi tahu bagaimana cara
kembalinya?
Karena kelompok pembaharu Islam ini
menggunakan metode kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits, maka mereka tidak mau
kembali kepada madzhab, karena madzhab dianggap sektarianitas atau melakukan
pengkotak-kotakan umat Islam. Secara teoritis, kalau semua kembali kepada
Al-Qur'an dan Hadits, tentu akan bertemu pada satu titik. Akan tetapi karena
banyak yang tidak mengetahui cara kembalinya, akhirnya sejumlah orang yang
mengaku kembali ke Al-Qur'an dan Hadits, sejumlah itu pula madzhab yang muncul.
Sekarang banyak mubaligh di TV-TV yang gayanya seakan-akan kembali kepada
Al-Qur'an dan Hadits, akan tetapi mereka sebenarnya nggak bisa membaca
Al-Qur'an dengan baik. Para mubaligh itu hanya
bisa bicara tentang budi pekerti, tapi tidak bisa menyebutkan Hadits-hadits
Rasulullah SAW.
Akhirnya apa yang terjadi?, Yang terjadi
adalah konflik antara NU dan Muhammadiyah dalam wacana ijtihad, taqlid,
bermadzhab, dsb. Semenjak saya kecil, pertengkaran antara NU dan Muhammadiyah
ini begitu tajam, namun sekarang ini sudah ndak tajam lagi, karena orang
yang mengaku kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits itu ternyata ndak bisa
balik lagi – istilahnya; Iso budal, nggak iso mulih – karena mereka
tidak mempunyai modal yang cukup untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits.
Menang slogan ini ketika berupa wacana, tampak logis sekali, akan tetapi ketika
harus difaktakan, banyak yang tidak bisa melakukannya. Coba anak-anak Pesma
ini, misalnya ada seruan: "Wahai anak-anak Pesma, mari kita kembali kepada
Al-Qur'an dan Hadits. Tentu ndak mungkin bisa, karena membaca Al-Qur'an
saja masih belum begitu lancar. Karena ndak mungkin melaksanakan slogan
tadi, akhirnya banyak yang putus asa dan masing-masing orang mengikuti gurunya
sendiri-sendiri. Padahal tindakan mengikuti gurunya sendiri-sendiri itu sama
saja dengan bermadzhab. Pahaamm..?
Akhirnya pertikaian antara NU dan
Muhammadiyah mulai mereda. Mereka tetap bersatu sekalipun ada perbedaan di
antara keduanya, karena sama-sama ngertinya; sedangkan belakangan ini
bersatu karena sama-sama ndak ngertinya. Nah, sekarang ini, konflik
antara NU dengan Muhammadiyah menurun jauh dibandingkan dengan kondisi pada
waktu saya dulu. Mereka dulu berkelahi dan masing-masing merasa paling berhak
masuk surga. Baik warga NU maupun Muhamamdiyah sudah berbeda, sekalipun tidak
ada ilmunya, bahkan di pasar-pasar rombeng sekalipun. Sekarang ini semuanya
sudah lumer, dan yang tersisa di dalam konflik antara NU dan
Muhammadiyah ini adalah fanatisme golongan, bukan lagi tentang wacana
keagamaan. Artinya; konflik sudah bergeser dari wacana aqidah dan syari'ah,
menjadi wacana interest dan opportunity. Apalagi yang memimpin NU
dan Muhammadiyah sekarang ini, ngajinya satu pondok (abah hasyim dan din syamsuddin sama-sama alumni GONTOR). Lumayan saya lebih
dulu dari pada pemimpin Muhammadiyah sekarang, sehingga dia ndak ngelama'.
Pada saat saya kelas 6, dia masih duduk kelas 1. Persaingan antara NU dan
Muhammadiyah ini menurun drastis, setelah ada regenerasi, yaitu semenjak tahun
80'-an. Persaingan yang tertinggal sekarang adalah persaingan nama,
simbol-simbol,
Sekarang ini, NU mulai mengejar
ketertinggalan dalam hal manajemen, kebersihan, metode, dll., sedangkan
Muhammadiyah yang merasa kering karena ndak ada dzikir, juga mulai ngimpor
dzikir. Akhirnya terjadilah crossline dan saling membutuhkan. Ibaratnya;
Yang NU tidak bisa jeding-nya lumuten terus, sedangkan yang
Muhammadiyah juga tidak bisa pakai celana terus. Makin lama, golongan
Muhammadiyah ini ingin hatinya terisi, karena sebelumnya mereka itu tergolong
rasionalistik, bukan sufistik. Sedangkan kalangan NU kebanyakan sufistik,
sehingga terkadang tidak bisa dibedakan antara orang sufi dengan dukun. Ono
wong nggak genah, jare karomah, wali, dsb. (kritik buat NU yang mengkultuskan Kiainya)
Sekarang ini muncul gelombang baru yang
mempersoalkan masalah khilafiyah di atas, malah Muhammadiyah juga
menjadi korban, sebagaimana yang dialami oleh NU, yaitu suka kecurian
masjid dan mushalla. Padahal dulu yang suka mencuri masjid dan mushalla milik
NU adalah Muhammadiyah, namun sekarang ganti masjid dan mushalla Muhammadiyah
yang dicuri oleh HTI, dsb. Mungkin ini adalah hukum karma. Hahaha… (just
kidding dan memang begitu yang di keluhkan beberapa Pengurus Pusat
Muhammadiyah)
Adapun
aliran yang masuk di Indonesia
saat ini antara lain:
HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).
Arti dari namanya saja sudah terlihat sangat politis, yaitu "Kelompok
Pembebasan Indonesia ".
Maksudnya, suatu negara akan dibebaskan dari sistem non-khilafah, kemudian
dikembalikan kepada sistem khilafah.
PKS. PKS ini gerakannya seperti MLM
(Multi Level Marketing). Yang membuat sistem ini dulunya adalah Sayyid Quthub,
dengan 'event organizer-nya' bernama Hasan Al-Banna. Dari sini lahirlah
kelompok Ikhawanul Muslimin (IM) di Timur Tengah. IM ini kerjaannya
melakukan kudeta di mana-mana. IM ini membuat gerakan Islam dengan sistem MLM
yang bertujuan untuk melakukan kudeta, terutama di negara-negara yang dianggap
tidak Islami atau sekuler atau yang dianggap tidak sejalan dengan madzhab IM.
Sebenarnya PKS dan HTI satu badan, hanya
beda sayap. HTI itu sayap IM di bidang manuver kerakyatan, sehingga kerjaannya
demo pokoknya yang penting rame. Sayap kedua adalah PKS yang
menggunakan gerakan-gerakan yang lebih demokratis. Kalau nanti sudah menjadi
Presiden. baru mereka akan bersatu. PKS sekarang ini jarang demo, padahal dulu
mereka sering demo. Bisa jadi karena Menteri Pertanian saat ini adalah dari
golongan mereka, sehingga kalau melakukan demo, akan kenek batuke dewe.
MMI (Majlis Mujahidin Islam) Majelis
Mujahidin lahir berawal dari keprihatinan para tokoh gerakan Islam yang pernah
digembleng di “pesantren Orde Baru” seperti Irfan Suryahardi, Deliar Noer,
Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lain-lain. Mereka terdorong
untuk mengadakan forum kecil, berdiskusi yang ujungnya menggagas lahirnya suatu
lembaga yang bisa menyatukan visi kaum muslimin yang hendak memperjuangkan
tegaknya syariat Islam, yaitu Majelis Mujahidin. di bawah pimpinan Abu Bakar
Ba'asyir. MMI ini sifatnya tidak internasional, melainkan regional. MMI ini
berpusat di Pakistan ,
namun mempunyai kegiatan edar di Asia Tenggara. Pada zaman Pak Harto.
Orang-orang MMI ini lari ke Malaysia
karena dikejar-kejar oleh TNI, dan setelah reformasi, mereka kembali ke Indonesia ,
tepatnya ke Ngruki.
Jaulah/Jamaah Tabligh. Pengikut
kelompok ini biasanya memakai celana yang diwingkis dan pergi dari satu
masjid ke masjid lain. Sepertinya mereka ingin melacak kehidupan Rasulullah SAW
seperti aslinya. Akhirnya, mereka memakai bakiak, ndak mau pakai sandal
biasa. Tapi anehnya mereka kok
bawa pena, padahal Nabi SAW tidak pernah membawa pena, dan Nabi SAW juga tidak
pernah menanak nasi di atas kompor. Pusat kelompok Jaulah ini ada di Pakistan .
Al-Qaeda. Kelompok ini tergolong
kelompok yang paling keras. Semua orang selain mereka dianggap kafir, sehingga
kelompok ini disebut juga dengan Hizbut Takfiri (Kelompok yang suka
mengkafir-kafirkan). Semua orang yang tidak berada dalam kelompok ini dianggap
kafir dan boleh dibunuh.
Salafy atau Wahaby. Kelompok ini
berasal dari Saudi Arabia .
Kelompok ini yang menganggap sembarang hal sebagai bid'ah. Apa saja yang
tidak ada di Saudi Arabia ,
dianggap tidak boleh menurut Islam. Inilah susahnya menghadapi orang Wahaby.
Mereka merasa Rasulullah SAW hidup di Saudi
Arabia , akhirnya apa yang tidak ada di sana dianggap bid'ah, padahal Islam itu
Rahmatan lil 'Alamin, bukan Rahmatan lis Sa'udiiyyin!. Mereka juga paling sulit
untuk diajak ngomong pengembangan kebudayaan. Mereka kaya pun sebenarnya
karena barokah do'a Nabi Ibrahim AS yang selalu berdo'a agar negara Hijaz itu
aman dan makmur.
Syi'ah. Pusatnya di Iran. Mereka
ini kelompok yang pro Sayyidina Ali RA, namun kontra dengan para Khulafaur
Rosyidin yang lainnya. Mereka juga tidak percaya kepada Imam Bukhari dan Imam
Muslim, sehingga tidak mau memakai Hadits-hadits beliau berdua. Bagi Syi'ah,
tidak boleh ada orang yang mempimpin Islam, kecuali berasal dari keturunan
Sayyidina Ali RA. Kalau mereka mengumandangkan adzan, ada tambahan lafadz; وأن عليا ولي الله. Kalau mereka mendirikan shalat, mereka
tidak mau sujud di atas karpet, melainkan harus sujud di atas tanah atau batu.
Oleh karena itu, mereka biasanya membawa batu seperti kereweng (pecahan
genting) yang berasal dari Karbala
yang digunakan sebagai tempat menempelkan dahi ketika sujud. Oleh karena itu,
pada muka banyak terdapat tanda hitamnya. Kalau wudhu' mereka mau mencopor
sepatunya, dan mereka shalat sehari semalam sebanyak 3 kali, yaitu;
Dzuhur-Ashar digabung menjadi satu, Maghrib-Isya' digabung menjadi satu, dan
Shubuh. Baik ketika bepergian maupun ketika di rumah saja. Yang paling menarik
adalah mereka memperbolehkan perkawinan tanpa saksi, asalkan sama-sama suka.
Inilah yang paling banyak peminatnya.
Semua kelompok yang saya sebutkan ini
sekarang masuk ke Indonesia
secara bersama-sama dan masing-masing mencari kekuatan massa . Karena massa Islam di Indonesia ini berada di NU dan
Muhammadiyah, maka yang dikeroyok juga NU atau Muhammadiyah. Oleh karena itu,
pada saat ini ada kerawanan keretakan Ukhuwah Islamiyah di Indonesia.
Di antara aliran-aliran di atas, ada yang
berupa aliran agama, misalnya; Syi'ah dan Wahaby; ada yang beraliran politik,
misalnya; PKS dan HTI. Sedangkan MMI itu kelompok garis keras. Adapun FPI itu
kelompok garis keras, tapi kelas lokal. Pengikut FPI ini banyak yang berasal
dari NU. Mereka itu yang bosen melihat kesabaran NU, akhirnya langsung
beli pentungan. Tapi yang diajarkan di kelompok FPI juga Riyadhus
Shalihin sebagaimana NU. Jadi, FPI itu bukan bagian dari gerakan internasional,
mereka hanya kelompok lokal yang senang bersikap keras, dan biasanya dipimpin
orang keturunan Arab.
Selain aliran-aliran di atas, ada juga
Yayasan-yayasan yang tidak bergerak langsung, melainkan berfungsi sebagai underbow
dari aliran di atas. Misalnya; Yayasan Al-Bayyinat. Yayasan ini sangat
membenci Syi'ah. Sebenarnya merekalah yang melakukan demo di Madura terkait
dengan masalah Syi'ah.
Ketetapan saya sudah pernah bertemu
'bos-bos' dari aliran-aliran di atas. Mereka ndak mau ngelamak,
karena saya sudah kenal 'bos' mereka. Letak perbedaan antara saya dengan
semacam kelompok PKS adalah; kalau mereka melakukan demo anti Israel, mereka
hanya berdemo di Bundaran HI, sedangkan kalau saya mengurusi Palestina, maka
saya langsung pergi ke Palestina; kalau mengurusi Syi'ah, langsung ke Iran;
kalau mengurusi Sunni langsung ke Irak; dsb.
Hampir semua negara Timur Tengah melarang
keberadaan IM, kecuali Mesir. Mulai Syiria, Yordan, Libanon , Saudi Arabia ,
dsb. semuanya menolak keberadaan IM, karena mereka membuat gerakan yang
ujung-ujungnya adalah kudeta. Karena negara-negara itu tidak mau dikudeta,
akhirnya IM harus dienyahkan. Oleh karena itulah, di Indonesia Hizbut Tahrir
dinamakan HTI, hal ini menunjukkan ada HT Malaysia, HT Australia, dsb, namun
mereka semua masih berada dalam koordinasi IM. Karena IM ini dibenci oleh
masing-masing negara, akhirnya keberadaan mereka tidak jelas, begitu juga
dengan markas mereka. Saya menduga, markas IM berada di Kairo.
Pembahasan kali ini adalah penting untuk
kamu semua. Bukan berarti saya menyuruh kaum untuk mencaci maki, melainkan agar
kamu semua mengetahui bagimana konstalasi umat Islam di Indonesia, sehingga
kamu bisa melakukan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi bangsa. Ingat!, Al-Hikam
adalah tempat belajar agama, dan tidak boleh ada politisasi di sini.
Untuk melanjutkan membaca tentang lebih detail tentang penjelasan aliran-aliran dan ideologi-ideologi islam silahkan buka link berikut : Agama, Aliran dan Ideologi Islam part 1
Untuk melanjutkan membaca tentang lebih detail tentang penjelasan aliran-aliran dan ideologi-ideologi islam silahkan buka link berikut : Agama, Aliran dan Ideologi Islam part 1
ini referensinya dari bapak penceramah itu?
BalasHapusbetul mb' psikolog, itu full ceramah beliau...
BalasHapus