Rabu, 15 Januari 2014

Klasifikasi Bid'ah dalam

Klasifikasi BID’AH

Assalamualaikum sahabat Edufunia, sebelum tulisan/catatan pesantren ini dibaca, akak zaenal ingin bercerita tentang sedikit diskusi dengan ustadz akak di pesantren firdaus. ringkas dan sederhananya diskusi tersebut tentang hadist bahwa "setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan masuk neraka". pertanyaannya adalah kalau semua bid'ah sudah dihukumi sesat, mengapa harus ada pengklasifikasian bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dholalah (sesat). ini dia penjelasannya. selamat menikmati. ^_^

Bid’ah berasal dari bahasa Arab ; بــدع – يـبــدع – بــدعــة . Kata ini bermakna ; Tambahan atau buatan. Namun yang dimaksud ‘tambahan’ dalam konteks ini adalah tambahan yang bertentangan dengan syari’at Islam yang telah berlaku. Sehingga kita tidak boleh menambah-nambah ajaran yang bertentangan dengan pokok agama Islam. Hadits Rasulullah SAW :
كــل بــدعــة ضــلا لــة ، وكــل ضـلا لــة فـي الـنــار
“Setiap tambahan dalam agama (Islam) adalah tersesat, dan setiap kesesatan akan bertempat di neraka”.
Ada dua penafsiran berkenaan dengan pengertian bid’ah ;
1. Setiap tambahan dalam agama Islam adalah bid’ah, hal ini sesuai dengan Hadits di atas.
2. Tambahan dalam agama Islam terbagi menjadi dua. Yaitu tambahan yang bertentangan dengan syari’at, dan tambahan yang tidak bertentangan dengan syari’at. Tambahan yang tidak bertentangan dengan syari’at ini tidak temasuk pengertian bid’ah dalam Hadits di atas.

Berkenaan dengan penafsiran yang kedua di atas, akhirnya bid’ah dibagi menjadi 2 macam ;
1. Bid’ah Dhalalah ; Yaitu bid’ah yang mengatur persoalan yang sebenarnya sudah diatur oleh syari’at, dan tambahan aturan yang dikemukakan ternyata bertentangan dengan syari’at Islam.
2. Bid’ah Hasanah ; Yaitu bid’ah yang mengatur persoalan yang belum diatur oleh syari’at Islam, dengan syarat, aturan yang dikemukakan tidak bertentangan dengan syari’at, bahkan bisa memperkuat syari’at Islam.


Hukum bid’ah di dalam ajaran Islam terklasifikasi menjadi 2 macam yaitu ;

1.      Bid’ah di dalam ibadah hukumnya haram.

Poin ini berkenaan dengan posisi ibadah mahdhah yang tidak boleh diotak-atik lagi. Kalaupun ada perubahan, perubahan tersebut harus berasal dari syari’at itu sendiri. Contoh ; Saat dalam perjalanan jauh yang memenuhi syarat yang ditentukan, seseorang diperkenankan untuk shalat dengan cara yang tidak seperti biasanya. Misalnya ; shalat Jama’, shalat Qashar, dll.
Orang yang shalat menggunakan bahasa Indonesia termasuk bid’ah dhalalah, karena prinsip di dalam shalat sebagaimana ibadah mahdhah yang lain adalah ‘semua dilarang, kecuali yang sudah diatur oleh syari’at Islam’.

Di Amerika ada wanita yang meminta hak untuk menjadi seorang imam bagi makmum pria ketika shalat berjama’ah. Namun Islam tidak mengenal aturan main seperti ini, sehingga permintaan wanita itu termasuk bid’ah dhalalah. Dan secara logis, jika permintaan tersebut dikabulkan, dikhawatirkan bisa mengganggu kekhusyu’an makmum lelaki yang berada di belakang imam wanita. 

Jika tambahan tidak menyangkut shalatnya, hukumnya boleh-boleh saja. Seperti shalat dengan memakai jaket atau pakaian apapun asal menutupi aurat. Karena semua itu hanyalah ‘aksesoris’ shalat.
Menutup aurat termasuk bagian dari masalah sosial, sehingga pada prakteknya bisa disesuaikan dengan kebudayaan masing-masing individu.

Bagaimana hukum mengucapkan lafadz أصــلـي فــرض الـظـهــر .. إلـخ (Saya niat shalat fardhu Dzuhur…) sebelum takbiratul Ihram? Ketentuan di atas sebenarnya merupakan kreasi Imam Syafi’i Ra. yang dimaksudkan untuk menata pikiran dan hati sebelum melakukan shalat.
Secara objektif, pelafalan lafadz niat bukan terkategorikan sebagai bid’ah, karena pelafalannya berada di luar shalat, yaitu sebelum takbiratul ihram. Sedangkan seperti yang kita maklumi bersama, bahwa yang dimaksud dengan shalat adalah ibadah yang dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.

Dalam perkembangannya, dalam merespon hukum kasus di atas, ada pihak yang pro dan ada yang kontra. Ada cerita, ketika ada orang Jawa yang pro pelafalan niat, dipaksa untuk menunjukkan dalil yang mendasari ‘keyakinannya’ itu. Karena terpojok, sebagai langkah terakhir dia mengemukakan dalil berupa Hadits  ;
 صــلــوا كــمــا رأيـتـمــونـي أصــلـي .
Artinya : sholatlah kalian sebagaimana melihat aku sholat.
Namun pengucapannya agak ‘diselewengkan’, sehingga berbunyi ; ‘Shallu kama ro-aitu muni ushalli’ , kata ‘muni ushalli’ , berasal dari bahasa Jawa yang artinya ; ‘ucapkanlah Ushalli..’. hehehe...

Bid’ah juga merambah pada ibadah puasa. Puasa sudah ditetapkan waktunya, yaitu dimulai dari shubuh sampai maghrib, sehingga puasa pati geni atau puasa wishal adalah bid’ah dhalalah. Karena puasa tanpa berbuka adalah puasa yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at Islam.

2. Bid’ah di dalam mu’amalah hukumnya boleh, kecuali pada bagian-bagian yang sudah diatur oleh syari’at.

Prinsip di dalam mu’amalah adalah ‘semua boleh, kecuali yang telah diharamkan syari’at Islam’.
Contoh : Jarak perjalanan yang bisa membuat seseorang diperkenankan untuk shalat Jama’ maupun Qashar, tampaknya perlu dikaji ulang. Karena pada saat ini, meskipun perjalanannya sangat jauh, namun karena kecanggihan alat transportasi, membuat seseorang yang bepergian tidak merasa capek.

Dalam hal ini Imam Asy-Syafi’I Ra. berpendapat bahwa boleh-tidaknya menjamak atau mengqashar shalat adalah sesuai dengan jarak yang ditempuh seorang musafir. Sedangkan Imam Hanafi Ra. mendasarkan pada faktor kelelahan yang dirasakan oleh seorang musafir. Misalnya ; Perjalanan dari Surabaya ke Makkah hanya memerlukan beberapa jam, jika menggunakan pesawat. Sehingga keletihan yang dirasakan tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan bepergian dari Malang ke Surabaya melalui jalan kaki.

Perbedaan 2 Imam Mujtahid di atas merupakan Rahmat, namun banyak yang masih mempersoalkan perbedaan pendapat tersebut. Mungkin orang yang mempersoalkan ikhtilaf ini adalah orang-orang yang beranggapan bahwa bertengkar bisa mendatangkan pahala.

A.    Peran Adat Di Dalam Agama
Persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh agama, dikembalikan pada adat setempat untuk mengaturnya. Dan pastinya harus tidak bertentangan dengan Syari’at Islam. Kebijakan ini sesuai dengan kaidah fiqih ;
مــاورد فــي الـشــرع مـطـلـقــا ولا ضــابـطـا لــه ، فــيــرجــع إلـى الـعــرف
Sesuatu yang diatur syara’ secara muthlaq (garis besar) saja, tanpa ada batasan yang pasti. Maka (pengaturan) sesuatu tersebut dikembalikan pada ‘urf
         Pengertian Urf lebih umum dari pada adat, karena ‘urf bisa berbentuk musyawarah (demokrasi) dan bisa berupa keputusan yang diambil dari musyawarah tersebut.

B.     Contoh adat yang tidak bertentangan dengan syara’ :
.  Kewajiban seorang anak harus sopan kepada kedua orang tua sudah diatur Al-Qur’an, namun bagaimana praktek kesopanan tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Di sinilah hukum adat –sebagai sebuah konvensi - diberi tempat untuk mengaturnya, asal tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Iring-iringan pengantin khas Jawa dalam pernikahan, menghias rumah dengan janur, dll. Di Aceh diadakan pesejuk  sebagai jamuan untuk tamu yang datang. Hidangannya berupa nasi kuning dan sekapur sirih. Jika tamu menolak, dia dianggap menghina atau tidak menghormati.

C.    Contoh adat yang bertentangan dengan syara’ :
Di dalam suku Sasa di Lombok, tanda saling menyintai antar kekasih adalah jika si pria membawa lari pacarnya, setelah ‘luset’ baru si pria minta ijin kepada orang tua si wanita untuk menikahi anaknya.

Adat terbagi menjadi dua ;
1.      Adat yang bertentangan dengan Aqidah.
Yaitu adat yang bisa sangat membahayakan ketauhidan seseorang, sehingga pada klimaksnya membuat seseorang kufur atau musyrik kepada Allah SWT.
Contoh : Di Magelang ada adat yang mengharuskan pengantin pria untuk menginjak telur sampai pecah. Adat seperti ini bisa membahayakan aqidah, ketika seseorang bercerai dengan pasangannya. Yaitu jika dia beranggapan bahwa penyebabnya adalah telur tersebut.
2.      Adat yang bertentangan dengan Syari’at.
      Contoh : Wanita India harus berpakaian yang memperlihatkan pusarnya ketika dia menghadiri resepsi pernikahan. Adat seperti ini tidak boleh diikuti oleh wanita muslimah di India.

فــمــاذا بــعــد الـحــق إلا الـضــلا ل مــافــرطــنــا فــي الـكــتــاب مــن شـيــئ
Ayat di atas menunjukkan bahwa apapun di luar perkara yang haq, pasti merupakan kesesatan. Al-Qur’an sudah meliputi segala persoalan, maknanya ; apapun yang tidak disebut oleh Al-Qur’an, berarti menjadi daerah kreasi pemikiran bagi manusia. Pada poin ini menunjukkan perlunya pengembangan agama, asalkan tidak bersifat dekonstruksi.

Ketika pengembangan agama tidak sejalan dengan syari’at Islam, maka yang terjadi adalah pembongkaran agama, semisal ; Pengguguran kandungan karena alasan perkosaan. Padahal syari’at jelas-jelas mengharamkan pengguguran kandungan di atas 4 bulan.

Sedangkan pengembangan agama yang sejalan dengan syari’at Islam berfungsi untuk memperkuat Islam itu sendiri. Misalnya ; Peremajaan kitab-kitab fiqih yang dipandang perlu untuk dikaji ulang. Contoh ; Di dalam Fathul Mu’in, jika seseorang akan membeli sesuatu, dia harus berkata ; “Saya beli ini, Pak”. Sedangkan si penjual menjawab ; “Saya jual ini kepadamu, Nak”. Ketentuan seperti ini akan terasa janggal bahkan lucu ketika diterapkan saat ini. Seperti kasus seseorang yang akan mengambil uang di ATM, apakah pantas dia berkata kepada ATM, “Saya ambil uang, Yaa!”.

Secara kasat mata, banyak kegiatan bermu’amalah pada saat ini yang tidak bisa ‘menerima’ pendekatan fiqih abad pertengahan. Namun yang boleh direvisi hanya menyangkut metode saja, bukan pada pokok agama.

bid'ah semua sesat jika dikaitkan dengan ibadah mahdoh karena prinsip dalam ibadah adalah segala sesuatu dilarang kecuali yang telah diperbolehkan berbeda dengan prinsip muamalah yaitu segala sesuatu boleh kucuali yang telah dilarang. Semoga kita bijak terhadap dalam menyikapi berbagai sesuatu hal baru yang biasa disebut bid’ah. amin



0 komentar:

Posting Komentar

Edufunia Right. Diberdayakan oleh Blogger.