Jumat, 06 Juni 2014

STRATEGI MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH

STRATEGI MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH
DI TENGAH TERPAAN BADAI KEHIDUPAN
 
KH Hasyim Muzadi
Para Jama'ah yang saya mulyakan!.
       Salah satu tugas pokok kita sebagai orang tua adalah menyelamatkan diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Tugas ini ditegaskan di dalam Al-Qur'an Surat At-Tahriim : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
            Yang ingin saya sampaikan pada pengajian kali ini adalah tentang tata cara untuk melaksanakan tugas tersebut, karena perintah Al-Qur'an tadi bersifat umum. Hal ini seperti halnya perintah shalat di dalam Al-Qur'an, sedangkan rincian tata cara shalat harus dilihat di dalam Hadits Rasulullah SAW. Bahkan Hadits pun kadang-kadang masih harus dirinci lagi melalui ijtihad (pandangan keilmuan) para ulama'. Jadi, Hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an, sedangkan ulama' berfungsi untuk mempraktekkannya di dalam tekhnis pelaksanaan sehari-hari.
       Sekarang kita bukan hanya mengalami kesulitan di dalam keluarga, karena faktor ekonomi dan sulitnya mencari biaya hidup, akan tetapi kita juga kesulitan karena pengaruh dari luar. Sekarang ini, pengaruh dari luar tidak hanya mengganggu, tapi sudah merusak dan menghancurkan. Oleh karena itu, cara kita dalam menyelamatkan keluarga juga harus dobel, yakni dobel dari dalam dan dobel dari luar.
       Saya akan memulai membahas tentang tata cara menyelamatkan keluarga dari dalam. Seorang ahli hikmah yang bernama Imam Al-Ghozali RA menyatakan dalam atsar-nya (pendapat yang mu'tabar).
أَصْلِحْ نَفْسَكَ، يَصْلُحْ لَكَ النَّاسُ
أَصْلِحْ نَفْسَكَ، يَصْلُحْ لَكَ النَّاسُ
Perbaikilah dirimu, niscaya orang lain akan memperbaiki dirinya (perilakunya) kepadamu

       Atsar ini bisa diartikan: Kalau kita ingin memperbaiki keluarga kita, maka kita (ayah dan ibu sebagai orang tua) yang harus memperbaiki dirinya terlebih dulu. Kita harus memperbaiki diri sendiri, sebelum memberi nasehat apapun kepada anak-anak kita. Ayah dan ibu harus memperbaiki diri secara bersama-sama. Seorang ayah biasanya mempunyai kelebihan dalam mengayomi dan mengatur anak, sedangkan ibu mempunyai kelebihan dalam mengembangkan nurani anak. Oleh karena itu, yang harus diperbaiki oleh seorang ayah adalah tauhidnya kepada Allah SWT. Cantolannya kepada Allah SWT ini harus diberesi, melalui ibadah, dzikir, amal ma'ruf nahy mungkar (memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran), mencari makanan yang halal dan melakukan tindakan yang halal. Dengan demikian, seorang ayah akan menjadi berwibawa, ndak dicelatu terus karo anake. Kalau semua ini sudah kita lakukan, maka Allah SWT akan memberikan fadhilah (keutamaan) kepada kita. Setelah itu, seorang ayah mulai keluar nur-nya di kalangan keluarga. Pada saat itu timbullah rasa segan anak kepada seorang ayah dan seorang istri kepada suaminya, namun suami juga tidak semena-mena kepada istrinya. Semua itu adalah buah dari pelaksanaan lima titik di atas.
       Bersama dengan itu, seorang ibu hendaknya mengasah nuraninya, hatinya, dan feeling-nya melalui shalat dhuha dan shalat malam. Ingat!, tidak ada anak shalih terlahir dari ibu yang tidak shalat!. Ibaratnya, daun akan hijau kalau akarnya beres. Anak-anak kita ibarat daun-daun pohon, sedangkan ibu adalah akar dari pohon itu. Ketika akar sudah rusak, maka daun akan mulai menguning, layu dan jatuh. Shalat malam itu banyak macamnya, bisa shalat Ba'diyah Isya', Shalat Hajat, Shalat Tahajjud, dsb. Setelah shalat, ibu harus langsung mendo'akan anaknya satu persatu. Dari situlah, nanti akan tumbuh ruh junudun mujannadat, yaitu ruh ibu yang dulu pernah menjadi satu dengan anak, akan menjadi tersambung kembali. Dengan demikian, kalau seorang anak pergi jauh, dia akan ingat ayah dan ibunya. Sekarang ini, anak-anak kita sudah tidak lagi begitu. Adapun yang bisa menyambungkan ruh anak dan orang tua adalah seorang ibu, bukan anak. Imam Al-Ghozali RA menyarankan, setiap kali ada perpisahan antara anak dengan ayah-ibu – misalnya; pergi – , maka harus selalu dibarengi dengan bacaan Surat Al-Fatihah dari ayah dan ibu kepada anak. Surat Fatihah itu akan menjadi sebuah perlindungan bathin orang tua terhadap anak. Coba sekarang kita angan-angan. Pernahkah kita melakukan semua itu?. Karena kita tidak pernah melakukan semua itu, maka anak kita menjadi liar. Pikiran dan hatinya menjadi liar, karena tidak ada cantolannya kepada orang tua. Jangan lagi ketika anak berada di luar rumah; di dalam rumah saja, hati anak sudah ndak nyambung sama ayah-ibunya. Hal ini adalah berbahaya!.
          Keterangan di atas adalah menyangkut perbaikan diri secara bathiniyah, yaitu apa yang harus dilakukan oleh ayah dan ibu dalam rangka mempraktekkan atsar Imam Al-Ghozali RA di atas. Jika sudah berhasi, maka tanpa marah pun, anak-anak akan sungkan kepada orang tuanya. Sungkan ini akan disertai dengan kecintaan dan kerinduan, ketika amal-amal bathin itu diterima oleh Allah SWT.
       Karena tugas ayah itu dobel, maka selain berdo'a dan menjaga hubungan bathin, seorang ayah juga harus mencari kebutuhan hidup. Oleh karena itu, daya lekatnya terhadap anak tidak seperti ibu yang memang khusus memberesi masalah bathin anak. Jadi, seorang ayah yang tidak didukung oleh seorang ibu, akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan hati anak-anaknya, karena ayah hanya bisa menjalankan separo tugas saja, sedangkan tugas yang separo lagi adalah mencari kebutuhan hidup keluarga. Adapun seorang ibu, ada yang seperti itu, namun tidak semuanya, sehingga konsentrasinya dalam mendidik anak lebih baik dari pada ayah.   





       Setelah itu, pelan-pelan, anak-anak didorong untuk melakukan hal yang sama. Namun prosedur ini jangan dibalik. Jangan sampai anaknya disuruh melakukan terlebih dulu, sedangkan orang tuanya belum melakukannya, karena nanti akan diguyu-guyu oleh anak. Adapun salah satu obat yang paling mujarab untuk menyatukan keluarga adalah mengadakan shalat berjama'ah di dalam keluarga. Shalat berjama'ah dalam keluarga sungguh luar biasa pengaruhnya. Yang begini-begini ini sudah tidak kita pikirkan, soale mikir regane lengo gas mundak terus, pikirane wis entek.
       Suatu kegiatan (amaliah) keluarga, secara timbal balik akan mempengaruhi rezeki kita. Orang yang hatinya tenang, nyambot gawene juga nggak ngawur, sehingga rezeki yang masuk juga nggak ngawur. Akan tetapi kalau orang yang secara dzahiriyah, rezekinya sudah sangat rusak, maka hal itu bisa merusak bathiniyah keluarga. Hal ini dijelaskan oleh dawuh Nabi Muhammad SAW:
كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
Kefakiran itu mendorong orang untuk menjadi kafir.
       Kafir itu ada beberapa jenis, yaitu:
v  Kafir dalam arti tidak percaya kepada Allah SWT. Ini adalah kafir yang paling buruk;
v  Kafir ketika menerima pemberian Allah SWT. Kafir ini disebut dengan kafir nikmat;
v  Kafir dalam arti tidak mau menjalankan perintah Allah SWT.
       Kalau kita sudah menjalankan semua hal di atas, maka posisi kita sebagai orang tua sudah benar. Ingat, masih posisinya yang benar, belum gerakannya. Namun semua ini sudah bisa dijadikan modal untuk mencari kebutuhan dzahiriyah. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Jumu'ah : 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
       Maksud Ayat di atas adalah; Kalau urusan dengan Allah SWT sudah engkau beresi, cepet-cepet engkau cari rezeki atau fadhal (anugerah) Allah SWT.
       Kalau bisa, jangan sampai ada anak kita yang sudah dewasa, namun masih nggandol kepada kita. Mereka harus diajari mencari rezeki. Inilah letak perbedaan antara kita dengan orang cina. Orang cina itu sekalipun ayahnya kaya, namun anaknya tidak dimanja. Biasaya orang cina akan memerintahkan anaknya untuk bekerja sebagai kuli di perusahaan milik temannya, setelah paham, baru dibuatan pabrik sendiri. Oleh karena itu, kalau ada orang cina jualan kacang, maka pada saat dipegang oleh anaknya sudah menjadi pabrik kacang. Sedangkan kita, seandainya mempunyai tanah seluas 10 hektare dan mempunyai 10 anak, maka masing-masing anak akan kita beri 1 hektare. Selanjutnya pada saat cucu kita sudah dewasa, kita sudah ndak punya tanah, akhirnya menjadi makelar tanah.



       Selama seseorang membutuhkan dunia, maka dia harus mencarinya. Kecuali kalau dia dipilih oleh Allah SWT, hatinya sudah tidak menginginkan dunia lagi; ganti Allah SWT yang akan mengantarkan harta duniawi kepadanya. Namun kalau kita tidak dipilih, ojok gaya, nanti justru akan melarat tenan. Apalagi posisi kerja pada Surat Al-Jumu'ah : 10 di atas, letaknya persis setelah ibadah fardhu.
       Nah, itu tadi baru ngomong masalah yang pertama, yaitu bagaimana cara memberesi diri kita dan anak-anak kita. Sedangkan masalah kedua yang harus kita beresi adalah godaan dari luar. Saya mempunyai 6 orang anak, sedangkan saya ini harus wira-wiri ke sana ke mari, sehingga tidak bisa memikirkan anak-anak secara penuh. Akhirnya tugas itu menjadi bagian ibunya. Saya berpesan: "Wis ojok dadi reno-reno. Jadi pengurus anak-anak saja". Ibunya anak-anak ini mau ditarik jadi pengurus apalah, namun saya jawab: "Ora usah. Aku iki wis montang-manting, lek kowe melok montang-manting, umah iki dadi gerdu". Itupun di tengah perjalanan, saya tetap mengurus anak, meskipun tidak sekuat ibunya. Makanya, kalau ada apa-apa, anak-anak pergi ke ibunya, karena andil saya cuma separo, sedangkan andil ibunya itu penuh. Namun ada juga seorang ayah yang disuruh mengurusi anak terus, sedangkan ibunya ke salon terus. Bapake dikongkon utek-utek anake, sedangkan ibue ucul dengan jurusan permejengan di mana-mana. Kalau hal itu yang terjadi, maka kecenderungan anak akan mengarah kepada ayah, bukan kepada ibu. Masalah yang paling gawat adalah kalau ayah dan ibu bertentangan. Suami dan istri yang geger berarti mereka telah melakukan dua dosa sekaligus.
       Sekarang saya akan bicara mengenai bahaya dalam keluarga. Bahaya itu bisa berasal dari dalam dan bisa juga dari luar. Contoh bahaya dari dalam adalah gegeran, lalu didelok anake. Jika hal itu sampai terjadi, maka habislah wibawa orang tua. Apalagi kalau ayah dan ibunya "kampanye" golek dukungan anake, yaitu anak dipengaruhi untuk ikut ibu atau ayahnya. Tindakan seperti itu bisa merusak psikologi anak. Oleh karena itu, dosa gegeran ayah dan ibu itu dobel, yakni dosa pertikaian dan dosa merusak psikologi anak sekaligus.
       Sebenarnya, alasan kenapa saya ndak berani kawin lagi adalah karena takut terjadi hal seperti itu. Saya pernah bertemu dengan seorang Kyai di Banyuwangi yang mempunyai anak sebanyak 48 anak dari 5 orang ibu, sebenarnya Kyai itu istrinya 4 orang, namun yang satu gonta-ganti. Dia termasuk orang khusus yang diberi kelebihan oleh Allah SWT. Di Mojokerto juga ada orang yang mempunyai 4 orang istri dan tinggal dalam satu rumah. Kamare jejer-jejer, ibarat asrama. Bagaimana kondisi yang seperti ini bisa tenang?. Piye nalare?. Saya sendiri merasa heran, karena biasanya pertikaian paling gawat itu disebabkan suami yang berkeluarga lagi. Saya juga pernah dikirimi sms oleh AA Gym yang nikah lagi, namun digegeri orang-orang. "Kyai, tindakan saya ini 'kan tidak salah menurut agama. Namun kok orang-orang nggegeri saya". Saya jawab: "Itu menunjukkan kalau sampeyan belum Kyai. Belum mempunyai ilmunya, kok berani poligami, yo nubruk-nubruk". Dan lagi, para penggemar AA Gym umumnya adalah para ibu-ibu, bukan mbak-mbak. Karena mereka itu ibu-ibu, maka mereka solider terhadap istri AA Gym yang pertama. Umpama penggemarnya itu mbak-mbak yang berpotensi menjadi istri kedua, mungkin mereka akan mendukung.
       Bahaya dari dalam yang kedua adalah faktor ingin saling menguasai di antara kedua orang tua. Mulane dalam menanggapai masalah gender ini, di dalam Al-Qur'an ada dua penjelasan. Di dalam lingkungan keluarga, Al-Qur'an tidak menggunakan istilah "persamaan gender", melainkan menggunakan istilah "keserasian gender". Serasi itu bukan berarti sama. Serasi itu bermakna saling mengisi; kelebihannya diberikan kepada yang lain, dan kelebihan orang lain masuk ke dalam dirinya. Oleh karena itu, di dalam Surat Al-Baqarah :
Hunna libasun lakum
Engkau pakaiannya wanita dan wanita pakaiannya laki-laki.
Kemudian Ayat ini dipertegas lagi oleh Surat :
Faddhalallahu badhahum 'ala ba'dhin.
       Allah SWT memberi kelebihan pada kaum laki-laki maupun kaum wanita. Masing-masing laki-laki dan wanita mempunyai kelebihan masing-masing, hanya letaknya saja yang berebda. Keserasian itu tercipta, misalnya; ketegasan laki-laki dimasuki oleh ketelitian perempuan; Rasio laki-laki dibarengi nurani perempuan. dsb. Inilah yang dimaksud dengan Ayat di atas. Pakaian itu bukan hanya kain, akan tetapi juga sifat-sifat laki-laki dan perempuan yang saling mengisi sejak zaman azali dari Lauh Mahfudz. Jadi, wong lanang itu nggak usah belajar nyulam, nanti suwek kabeh kaine, karena menyulam itu pekerjaan wanita. Wanita juga jangan mbecak, karena itu pekerjaan laki-laki-laki. Wanita harus bersikap lembut, sedangkan laki-laki harus bersikap gagah. Di mana letak kekuatan wanita? Yaitu pada kelembutannya, sehingga menimbulkan rasa laki-laki untuk melindunginya, dan perlindungan itulah yang membuat wanita aman dan kuat. Sifat-sifat yang berbeda itu harus disinergikan.
       Jangan sekali-kali mengibarkan bendera persamaan gender di dalam keluarga, karena nanti justru akan membuat keluarga retak dan kering. Orang-orang yang ngomong gender itu biasanya rumah tangga mereka tidak bahagia. Karena alasan ini dan itu, akhirnya membuat mereka sakit hati. Namun, kalau di luar lingkungan keluarga, misalnya dalam karier, kepinteran, pangkat, kapasitas, dan kualitas, silahkan mengusung bendera persamaan gender. Sak iki akeh wong wedok sing luwih juara timbang wong lanang. Misalnya juara-juara sekolah saat ini kebanyakan adalah wanita. Jadi, siapa yang berprestasi, maka dia berada di depan. Namun semua itu di dalam bidang sosial, bukan di bidang shalat. Karena jika wanita shalat di depan, maka akan mengganggu kekhusuan shalat. Lek wong wedok dadi imam, wong-wong rebutan nggolek panggonanan persis ndek mburine imam. Lalu ngenteni lek imam rukuk, ndeke iso nyundul. Semua itu justru akan membuat kacau, namun ngono-ngono itu nggak dipikir. Di antara mereka ada yang protes, kenapa wanita kok ndak boleh jadi imam? kenapa kok bagian waris wanita cuma separo?, kenapa kok laki-laki kalau kencing cukup disiram saja, sedangkan kalau wanita harus dibasuh bersih?. Semua itu ada sebabnya. Ojok diilokno!. Kesimpulannya, untuk di lingkungan sosial menggunakan istilah persamaan gender (musawah), sedangkan kalau di lingkungan keluarga menggunakan istilah keserasian gender (tawazun).
      

       Yang juga termasuk bahaya dari dalam adalah kekurangan rezeki. Keluarga bisa berantakan karena kekurangan rezeki. Misalnya; korban lumpur di Sidoarjo. Anak-anak mulai berani kepada orang tuanya karena tidak disangoni. Hal itu karena mereka semua nganggur, rumahnya tenggelam, pekerjaannya hilang, dan mereka harus tidur di pasar tanpa ada sekat antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. Kemudian muncullah bencana sosial di sana. Mulane, lek njalok nang Pengeran iku, njalok selamet lan rezeki kang barokah (halalan thayyiban). Orang yang sangat kekurangan ekonominya akan mengakibatkan kerusakan dalam keluarga. Oleh karena itu, harus ada do'a dan kerja sekaligus.
       Saya dapat titipan dari ulama' sepuh, Para Jama'ah yang mempunyai sebidang tanah yang masih longgar, baik di depan maupun di belakang rumah, hendaknya tanah itu ditanami dengan tanaman yang produktif dan bisa dimakan, misalnya; ubi-ubian (polo pendem). Saya sendiri tidak tahu alasannya, karena para Kyai itu biasanya ndak mau terus terang. Kyai itu hanya berkata: "Jogo-jogo lek wong-wong nggak kuat tuku beras". Saya bertanya: "Kok saget ngoten, Kyai". Lalu dijawab; "Ojok takon terus". Setelah saya pikir-pikir, sekarang impor beras masih berjalan terus, sedangkan Negara-negara pengimpor beras – misalnya; Vietnam – sekarang sedang mengalami kekeringan dan menurunnya hasil panen. Ada kemungkinan nanti tidak bisa impor beras karena sing dituku nggak onok. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi, tapi bagaimana kalau benar-benar terjadi?. Apalagi satu hektare tanah yang kalau ditanami padi hanya menghasilkan produksi 6 ton, namun kalau ditanami polo pendem bisa menghasilkan 60 ton, dan itu sudah cukup buat makan selama satu tahun.
       Adapun sangguan dari luar terhadap keluarga itu ada dua macam, yaitu:
Gangguan hati. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Naas : 4-6

Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Dari (golongan) jin & manusia.
Gangguan akhlaq. Misalnya; Pergaulan, seks bebas, narkoba, ora sembahyang, lek ndelok pertunjukan musik, tingakahe nggak karu-karuan, trek-trekan, dsb.
       Anak-anak kita harus kita peringatkan secara dzahir dan bathin. Secara bathin dengan cara-cara yang saya sebutkan di atas, sedangkan secara dzahir melalui peringatan kepada anak. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT dalam Surat :
Jadi, fafirru ilallah itu bukan hanya dzikir saja, namun juga melaksanakan perintah Allah SWT yang lainnya.
       Hari ini, yang rusak di Negeri ini bukan hanya ekonomi, politik, maupun pendidikan saja, namun pikiran manusianya yang sudah rusak. Misalnya; Ada anggota DPR ngeluruk nang Jakarta ngurus rapelane dhewe. Mereka itu dijadikan anggota DPR agar mengurusi rakyat, la kok ngurusi awake dhewe. Iki jenenge wong stres. Namun, mereka masih rumongsho bener. Sifat rumongsho bener itulah penyakitnya. Ketika yang sakit adalah pikiran manusia, maka ora ono sing iso dandani kejobo atas idzin Allah SWT. Ndandani masalah ekonomi iso dirunding bareng, namun kalau untuk memperbaiki pikiran manusia, apakah kepalanya yang harus dibor?.
       Demikianlah peringatan dari Imam Al-Ghozali RA dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT dalam Surat At-Tahriim : 6 di atas. Tangan kita sudah berat untuk menjangkau masyarakat, oleh karena itu mari kita beresi keluarga masing-masing. Anak kita nggak boleh ada yang nganggur, mereka harus mempunyai pekerjaan masing-masing. Mudah-mudahan ilmu anak-anak kita bermanfaat dan jangan sampai ilmu mereka mubadzir apalagi bisa membahayakan. Namun semua ini juga tergantung kepada orang tua. Karir anak itu separo menjadi milik anak itu sendiri, sedangkan yang separo lagi mergo do'anya wong tuwo. Kalau wong tuwo nggak dungakno anak, sedangkan sang anak nggak sembahyang, maka anak itu akan menjadi kosong. Di dalam Al-Qur'an, anak itu terkategorikan menjadi beberapa macam, yaitu:
v  Anak sing dadi pepaes (ziinatun). Misalnya; Anak yang mempunyai pangkat atau kepinteran. Mereka itu akan menjadi hiasan, namun perhiasan di dunia saja, sedangkan akhiratnya masih belum jelas.
v  Anak yang menjadi fitnah (fitnatun lakum).
v  Anak yang menjdi musuh orang tua ('aduwwun lakum). Mereka memusuhi orang tua bisa jadi karena aqidahnya yang tidak sama. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan di mana anak kita belajar agama. Bisa jadi, setelah dia pulang ngaji, dia akan mengharamkan tahlil, ziarah kubur, dsb. Mbiyen sing ngono iku Muhammadiyah, tapi sekarang orang Muhammadiyah sudah melok Tahlil, sedangkan anak-anak NU akeh sing melok tarawih 11 roka'at, golek kortingan 60%. Namun sekarang ada gelombang baru yang suka mempersoalkan semua itu lagi. Misalnya; Tahlil dan Muludan nggak oleh. Mereka itu ojok direken. Tapi bagaimana dengan anak kita?. Ada juga anak yang menjadi musuh orang tuanya karena merasa kepentingannya dipenggal.
v  Anak yang paling bagus adalah anak yang qurratu a'yunin. Jika kita mempunyai anak golongan terakhir ini, maka kalau kita meninggal dunia nanti, kita aan disuwuri do'a oleh mereka.
       Kalau kita ingin memperpanjang amal kita, maka perpanjanglah melalui anak kita. Amal kita akan habis pada waktu kita meninggal dunia, namun anak kita bisa melanjutkannya. Mereka bisa mengirim do'a dan sebagainya.
       Mugi-mugi Para Jama'ah sekalian diiparingi selamet, rezeki sing berkah, Bapak-bapak diparingi kemampuan muhasabah (instropeksi diri), Ibu-ibu diparingi kemampuan melakukan shalat Dhuha dan Tahajjud, mugi-mugi putra-putri kita menjadi anak yang shalih-shalihah, sehingga keluarga kita namanya keluarga sakinah. Amiin.


0 komentar:

Posting Komentar

Edufunia Right. Diberdayakan oleh Blogger.