Khilafah dalam Islam [1]
Oleh: K.H. Hasyim Muzadi
Umat Islam hendaknya beribadah berdasarkan syari'at Islam,
oleh karena itu mereka membutuhkan sebuah kitab pedoman yang dijadikan pijakan
dalam menjalankan ibadah sehari-hari. Dalam hal ini, kitab pedoman yang
dimaksud adalah kitab-kitab fiqih, misalnya; kitab Kifayatul Akhyar.
Di dalam kitab-kitab itu terdapat sumber-sumber pengambilan
hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, sehingga kaum muslimin akan terbiasa
mengerti agama Islam berdasarkan sumber pengambilannya. Karena jika mereka
hanya mengetahui agama Islam secara sepotong-sepotong, maka dikhawatirkan akan
menimbulkan sikap ekstrimitas maupun liberal disebabkan ketidak-seimbangan ilmu
pengetahuan yang mereka miliki.
Selanjutnya kaum muslimin bisa meningkatkan kualitas ibadah
mereka dengan cara melakukan ibadah secara maknawi, yaitu ibadah berdasarkan
makna substansial dari ibadah itu sendiri. Jadi, ibadah yang dilakukan tidak
hanya berdasarkan fiqih dan formalitas semata, akan tetapi ibadah yang didasari
faktor kejiwaan bagaimana mereka bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT
melalui ibadah-ibadah tersebut.
Pada masa Rasulullah SAW, para Shahabat RA tidak diperkenankan
untuk melakukan ijtihad, karena pada saat itu wahyu masih turun dan mereka bisa
bertanya langsung kepada Nabi Muhammad SAW tentang masalah-masalah yang tidak
mereka ketahui.
Sebagai contoh, ada seorang Shahabat RA yang melakukan ijtihad
ketika dia sedang berhadats besar. Berdasarkan syari'at, orang yang hadats
kecil diperbolehkan untuk melakukan tayammum apabila tidak menemukan air. Oleh
karena itu, si Shahabat RA tadi berasumsi bahwa jika seseorang berhadats besar
dan tidak menemukan air untuk mandi besar, maka tayammum saja tidak cukup,
karena tayammum – menurut Shahabat RA tadi – hanya diperuntukkan bagi hadats
kecil, oleh sebab itu dia memutuskan untuk 'mandi pasir/debu'. Pada saat dia
sedang bergumul dengan tanah, ada Shahabat RA lain yang melihatnya, kemudian
dia mengajaknya menghadap kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW
menjelaskan bahwasanya tayammum bisa digunakan sebagai pengganti wudhu' maupun
mandi besar. Jadi, ijtihad yang telah dilakukan oleh Shahabat RA tadi ternyata
salah menurut pandangan syari'at. Kesimpulannya, ijtihad (dalam masalah hukum
Islam) tidak diperkenankan pada masa Rasulullah SAW masih hidup.
Ketika Rasulullah SAW wafat, ada dua hal yang belum sempat
ditentukan hukumnya oleh beliau,
Siapa yang menjadi
pengganti beliau?
Melalui proses apa, sang
pengganti itu dipilih?
Tidak adanya kejelasan berkenaan dengan dua hal di atas itu,
sampai-sampai jenazah Rasulullah SAW baru dimakamkan pada hari Rabu sore,
padahal beliau wafat pada hari Senin. Masalah khilafah ini memang merupakan
masalah yang krusial, karena khilafah tersebut berdampak langsung pada masalah
kepemimpinan (kekuasaan dan prosesnya), politik dan hukum Islam.
Kepemimpinan
Sesudah Rasulullah SAW wafat, para Shahabat RA segera
membentuk tim Ahlul Halli wal 'Aqdi untuk menentukan khalifah pertama. Para
Shahabat RA tersebut menentukan sendiri tata cara pemilihan, dikarenakan tidak
adanya petunjuk dari Nabi Muhammad SAW berkenaan dengan masalah ini. Kemudian
tim ini memutuskan Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama.
Fenomena di atas menjadi salah satu argumentasi bagi ulama'
yang berpendapat bahwasanya masalah khilafah adalah masalah ijtihadi (pemikiran
kita beradasarkan pemahaman pada syari'at), bukan masalah syari'at (tekstual
pada Al-Qur'an dan Hadits). Dalam ushul fiqih, Imam Syafi'i RA menerapkan
sebuah qa'idah sebagai berikut;
ما ورد في الشـرع مطلقا
ولا ضابط له ..
Sedangkan di dalam Surat Ali
Imron : 159
...وشـاورهم في الأمـر ...
ألأية
Ayat di atas menerangkan
tentang musyawarah, akan tetapi tata cara musyawarah itu berbeda-beda pada
masing-masing tempat maupun negara.
Politik
Pada masa Abu Bakar RA dan Umar RA, kondisi politik masih
kondusif, akan tetapi pada masa Utsman RA, terjadi pertikaian politik.
Pertikaian politik ini dilatar-belakangi oleh meluasnya wilayah Islam sampai ke
berbagai penjuru dunia, mulai dari Afrika utara, Ethiopia (Habsyah), Syam (Syiria),
dsb.
Melihat begitu luasnya wilayah Islam, Utsman RA mengambil
kebijakan untuk mengangkat para pejabat di daerah-daerah tadi dari kalangan
keluarga sendiri, karena menurut beliau hal itu lebih memudahkan pengendalian
pada masing-masing wilayah. Akan tetapi kebijakan ini mendapat reaksi keras
karena dianggap nepotisme, terutama oleh orang-orang yang tidak memperoleh
jabatan, dan pada akhirnya Utsman RA dibunuh oleh mereka yang kecewa dengan
kebijakan di atas. Yang perlu diperhatikan di sini adalah kejadian-kejadian
pada masa Utsman RA masih berkenaan dengan fenomena politik, bukan fenomena
syari'at Islam.
Setelah Utsman RA wafat, para 'pembenci Utsman RA' segera
melakukan bai'at kepada 'Ali RA untuk menjadi khalifah. Akan tetapi para
'pendukung Utsman RA' tidak mengakui kekhalifahan Ali RA, sehingga mereka tidak
mendukung sepenuhnya pada pemerintahan yang baru ini. Sampai akhirnya 'Ali RA
juga dibunuh oleh pihak yang membenci beliau.
Pada masa ini, muncul 3 kelompok besar yang sangat berpengaruh
;
1.
Syi'ah : Kelompok yang pro kepada Ali RA. Di
antara golongan Syi'ah adalah Syi'ah Ja'fariyah yang menyatakan bahwasanya
semua khalifah sebelum 'Ali RA adalah pada khalifah yang telah meng-ghashab
(mengambil tanpa izin) kekhalifahan yang sebenarnya menjadi hak milik Ali RA.
Bahkan golongan Syi'ah yang paling ekstrim, yaitu Ghullat menyatakan bahwasanya
malaikat Jibril AS melakukan kesalahan ketika menurunkan wahyu, karena
sebenarnya yang menjadi Nabi – menurut golongan ini – adalah Ali RA
2.
Kelompok yang pro kepada Utsman RA. Kelompok ini
kemudian pecah menjadi beberapa golongan. Ahlussunnah wal Jama'ah termasuk
pecahan dari golongan ini.
3.
Khawarij : kelompok yang anti Utsman RA &
Ali RA. Meraka beranggapan bahwasanya semua penguasa halal dibunuh, dikarenakan
mereka telah merusak persatuan Islam.
Ketiga kelompok ini akhirnya mempengaruhi proses hukum agama
Islam, karena mereka terbiasa memperkuat pendapatnya maupun menyerang kubu lain
dengan Al-Qur'an dan Hadits. Sehingga terjadilah perpecahan politik dengan
mengatas namakan agama. Kondisi seperti ini sudah jamak terjadi, sebagaimana
kondisi yang pernah terjadi di Indonesia
pada saat kampanye parpol.
Jumhur ulama' berpendirian bahwasanya para Khulafa'ur-Rosyidin
adalah figur-figur yang baik. Para ulama' ini
tidak memperdulikan pertikaian politik, karena politik bukan masalah syar'i.
pendapat mereka ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW :
أصحابي كالنجـوم ، إن
اقتـديتـم إهـتـديتـم
"Para
Shahabatku itu seperi bintang-bintang, apabila kalian mengikuti mereka, niscaya
kalian akan memperoleh petunjuk".
Hukum Islam
Pada masa Shahabat RA,
dalam mengambil keputusan hukum, mereka berpijak pada Al-Qur'an dan Hadits.
Apabila belum menuai hasil, maka para Shahabat RA segera melakukan musyawarah
untuk menentukan konklusi hukum suatu permasalahan. Dari musyawarah ini,
muncullah istilah Ijma' (yurisprudensi) yang menempati posisi di bawah Hadits,
sehingga pada masa ini masih belum dikenal istilah 'mufti'.
Pada masa Tabi'in RA, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran
berdasarkan ijtihad. Yang pertama kali muncul adalah pemikiran-pemikiran
tentang hukum Islam, sehingga tidak mengherankan jika saat itu jumlah ahli
fiqih semakin banyak. Para ahli fiqih ini
jumlahnya sangat banyak, akan tetapi yang terkenal adalah 4 madzhab,
dikarenakan mereka mempunyai pendapat hukum sekaligus teori-teori yang
melandasi pemikiran mereka.
0 komentar:
Posting Komentar