Minggu, 13 April 2014

Khilafah dalam Islam perspektif salah satu tokoh NU

Khilafah dalam Islam [1]
Oleh: K.H. Hasyim Muzadi


       Umat Islam hendaknya beribadah berdasarkan syari'at Islam, oleh karena itu mereka membutuhkan sebuah kitab pedoman yang dijadikan pijakan dalam menjalankan ibadah sehari-hari. Dalam hal ini, kitab pedoman yang dimaksud adalah kitab-kitab fiqih, misalnya; kitab Kifayatul Akhyar.
       Di dalam kitab-kitab itu terdapat sumber-sumber pengambilan hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, sehingga kaum muslimin akan terbiasa mengerti agama Islam berdasarkan sumber pengambilannya. Karena jika mereka hanya mengetahui agama Islam secara sepotong-sepotong, maka dikhawatirkan akan menimbulkan sikap ekstrimitas maupun liberal disebabkan ketidak-seimbangan ilmu pengetahuan yang mereka miliki.
       Selanjutnya kaum muslimin bisa meningkatkan kualitas ibadah mereka dengan cara melakukan ibadah secara maknawi, yaitu ibadah berdasarkan makna substansial dari ibadah itu sendiri. Jadi, ibadah yang dilakukan tidak hanya berdasarkan fiqih dan formalitas semata, akan tetapi ibadah yang didasari faktor kejiwaan bagaimana mereka bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah-ibadah tersebut.
       Pada masa Rasulullah SAW, para Shahabat RA tidak diperkenankan untuk melakukan ijtihad, karena pada saat itu wahyu masih turun dan mereka bisa bertanya langsung kepada Nabi Muhammad SAW tentang masalah-masalah yang tidak mereka ketahui.

       Sebagai contoh, ada seorang Shahabat RA yang melakukan ijtihad ketika dia sedang berhadats besar. Berdasarkan syari'at, orang yang hadats kecil diperbolehkan untuk melakukan tayammum apabila tidak menemukan air. Oleh karena itu, si Shahabat RA tadi berasumsi bahwa jika seseorang berhadats besar dan tidak menemukan air untuk mandi besar, maka tayammum saja tidak cukup, karena tayammum – menurut Shahabat RA tadi – hanya diperuntukkan bagi hadats kecil, oleh sebab itu dia memutuskan untuk 'mandi pasir/debu'. Pada saat dia sedang bergumul dengan tanah, ada Shahabat RA lain yang melihatnya, kemudian dia mengajaknya menghadap kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW menjelaskan bahwasanya tayammum bisa digunakan sebagai pengganti wudhu' maupun mandi besar. Jadi, ijtihad yang telah dilakukan oleh Shahabat RA tadi ternyata salah menurut pandangan syari'at. Kesimpulannya, ijtihad (dalam masalah hukum Islam) tidak diperkenankan pada masa Rasulullah SAW masih hidup.
       Ketika Rasulullah SAW wafat, ada dua hal yang belum sempat ditentukan hukumnya oleh beliau,
Siapa yang menjadi pengganti beliau?
Melalui proses apa, sang pengganti itu dipilih?
       Tidak adanya kejelasan berkenaan dengan dua hal di atas itu, sampai-sampai jenazah Rasulullah SAW baru dimakamkan pada hari Rabu sore, padahal beliau wafat pada hari Senin. Masalah khilafah ini memang merupakan masalah yang krusial, karena khilafah tersebut berdampak langsung pada masalah kepemimpinan (kekuasaan dan prosesnya), politik dan hukum Islam.
Kepemimpinan
       Sesudah Rasulullah SAW wafat, para Shahabat RA segera membentuk tim Ahlul Halli wal 'Aqdi untuk menentukan khalifah pertama. Para Shahabat RA tersebut menentukan sendiri tata cara pemilihan, dikarenakan tidak adanya petunjuk dari Nabi Muhammad SAW berkenaan dengan masalah ini. Kemudian tim ini memutuskan Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama.
       Fenomena di atas menjadi salah satu argumentasi bagi ulama' yang berpendapat bahwasanya masalah khilafah adalah masalah ijtihadi (pemikiran kita beradasarkan pemahaman pada syari'at), bukan masalah syari'at (tekstual pada Al-Qur'an dan Hadits). Dalam ushul fiqih, Imam Syafi'i RA menerapkan sebuah qa'idah sebagai berikut;
ما ورد في الشـرع مطلقا ولا ضابط له ..
Sedangkan di dalam Surat Ali Imron : 159
...وشـاورهم في الأمـر ... ألأية
Ayat di atas menerangkan tentang musyawarah, akan tetapi tata cara musyawarah itu berbeda-beda pada masing-masing tempat maupun negara.

Politik
       Pada masa Abu Bakar RA dan Umar RA, kondisi politik masih kondusif, akan tetapi pada masa Utsman RA, terjadi pertikaian politik. Pertikaian politik ini dilatar-belakangi oleh meluasnya wilayah Islam sampai ke berbagai penjuru dunia, mulai dari Afrika utara, Ethiopia (Habsyah), Syam (Syiria), dsb.
       Melihat begitu luasnya wilayah Islam, Utsman RA mengambil kebijakan untuk mengangkat para pejabat di daerah-daerah tadi dari kalangan keluarga sendiri, karena menurut beliau hal itu lebih memudahkan pengendalian pada masing-masing wilayah. Akan tetapi kebijakan ini mendapat reaksi keras karena dianggap nepotisme, terutama oleh orang-orang yang tidak memperoleh jabatan, dan pada akhirnya Utsman RA dibunuh oleh mereka yang kecewa dengan kebijakan di atas. Yang perlu diperhatikan di sini adalah kejadian-kejadian pada masa Utsman RA masih berkenaan dengan fenomena politik, bukan fenomena syari'at Islam.
       Setelah Utsman RA wafat, para 'pembenci Utsman RA' segera melakukan bai'at kepada 'Ali RA untuk menjadi khalifah. Akan tetapi para 'pendukung Utsman RA' tidak mengakui kekhalifahan Ali RA, sehingga mereka tidak mendukung sepenuhnya pada pemerintahan yang baru ini. Sampai akhirnya 'Ali RA juga dibunuh oleh pihak yang membenci beliau.
       Pada masa ini, muncul 3 kelompok besar yang sangat berpengaruh ;
1.    Syi'ah : Kelompok yang pro kepada Ali RA. Di antara golongan Syi'ah adalah Syi'ah Ja'fariyah yang menyatakan bahwasanya semua khalifah sebelum 'Ali RA adalah pada khalifah yang telah meng-ghashab (mengambil tanpa izin) kekhalifahan yang sebenarnya menjadi hak milik Ali RA. Bahkan golongan Syi'ah yang paling ekstrim, yaitu Ghullat menyatakan bahwasanya malaikat Jibril AS melakukan kesalahan ketika menurunkan wahyu, karena sebenarnya yang menjadi Nabi – menurut golongan ini – adalah Ali RA
2.    Kelompok yang pro kepada Utsman RA. Kelompok ini kemudian pecah menjadi beberapa golongan. Ahlussunnah wal Jama'ah termasuk pecahan dari golongan ini.
3.    Khawarij : kelompok yang anti Utsman RA & Ali RA. Meraka beranggapan bahwasanya semua penguasa halal dibunuh, dikarenakan mereka telah merusak persatuan Islam.
       Ketiga kelompok ini akhirnya mempengaruhi proses hukum agama Islam, karena mereka terbiasa memperkuat pendapatnya maupun menyerang kubu lain dengan Al-Qur'an dan Hadits. Sehingga terjadilah perpecahan politik dengan mengatas namakan agama. Kondisi seperti ini sudah jamak terjadi, sebagaimana kondisi yang pernah terjadi di Indonesia pada saat kampanye parpol.
       Jumhur ulama' berpendirian bahwasanya para Khulafa'ur-Rosyidin adalah figur-figur yang baik. Para ulama' ini tidak memperdulikan pertikaian politik, karena politik bukan masalah syar'i. pendapat mereka ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW :
أصحابي كالنجـوم ، إن اقتـديتـم إهـتـديتـم
"Para Shahabatku itu seperi bintang-bintang, apabila kalian mengikuti mereka, niscaya kalian akan memperoleh petunjuk".
      
Hukum Islam           
         Pada masa Shahabat RA, dalam mengambil keputusan hukum, mereka berpijak pada Al-Qur'an dan Hadits. Apabila belum menuai hasil, maka para Shahabat RA segera melakukan musyawarah untuk menentukan konklusi hukum suatu permasalahan. Dari musyawarah ini, muncullah istilah Ijma' (yurisprudensi) yang menempati posisi di bawah Hadits, sehingga pada masa ini masih belum dikenal istilah 'mufti'.
       Pada masa Tabi'in RA, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran berdasarkan ijtihad. Yang pertama kali muncul adalah pemikiran-pemikiran tentang hukum Islam, sehingga tidak mengherankan jika saat itu jumlah ahli fiqih semakin banyak. Para ahli fiqih ini jumlahnya sangat banyak, akan tetapi yang terkenal adalah 4 madzhab, dikarenakan mereka mempunyai pendapat hukum sekaligus teori-teori yang melandasi pemikiran mereka.


0 komentar:

Posting Komentar

Edufunia Right. Diberdayakan oleh Blogger.