Kamis, 20 Februari 2014

Membangun dan Menjaga Keluarga Sakinah

Membangun Keluarga Sakinah Di Tengah Terpaan Badai Kehidupan
catatan pesantren Al-Hikam Malang


       Salah satu tugas pokok kita sebagai orang tua adalah menyelamatkan diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Tugas ini ditegaskan di dalam Al-Qur'an Surat At-Tahriim : 6
         Yang ingin saya sampaikan pada pengajian kali ini adalah tentang tata cara untuk melaksanakan tugas tersebut, karena perintah Al-Qur'an tadi bersifat umum. Untuk itu Hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an, sedangkan ulama' merinci tekhnis pelaksanaan sehari-hari.
       Sekarang ini – di dalam membina keluarga - kita tidak hanya menghadapi kesulitan ekonomi saja, akan tetapi juga kesulitan menghadapi  pengaruh  kebudayaan, gaya hidup sekuler. Sekarang ini, pengaruh-pengaruh negatif tidak hanya mengganggu, tapi sudah merusak dan menghancurkan sendi-sendi dasar keluarga menurut model syariat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, cara kita dalam menyelamatkan keluarga  harus dobel, luar-dalam.
       Seluruh rangkaian likhtiyar untuk membina dan menyelamatkan keluarga itu harus dimulai dari dalam  "diri sendiri", seperti dikatakan di dalam atsar para Ulama :
أَصْلِحْ نَفْسَكَ، يَصْلُحْ لَكَ النَّاسُ
Perbaikilah dirimu, niscaya orang lain akan memperbaiki dirinya (perilakunya) kepadamu
       Atsar ini dapat diartikan: Kalau kita ingin memperbaiki keluarga, maka kita (ayah dan ibu) yang harus bersama-sama memperbaiki diri terlebih dulu sebelum memberikan nasehat kepada anak-anak.
       Yang harus diperbaiki oleh seorang ayah adalah tauhidnya kepada Allah SWT. Cantolannya kepada Allah SWT ini harus diberesi, melalui ibadah, dzikir, amar ma'ruf nahy mungkar, mencari rizki yang halal dan melakukan tindakan yang baik dan terpuji. Kalau semua ini sudah dilakukan, maka Allah SWT akan memberikan fadhilah, seorang ayah akan menjadi berwibawa, timbullah rasa hormat dan rasa segan dari anak kepada seorang ayah dan seorang istri kepada suaminya.

       Bersamaan dengan itu, seorang ibu hendaknya mengasah nuraninya, hatinya, melalui shalat dhuha dan shalat tahajud. Ingat!, tidak ada anak shalih terlahir dari ibu yang tidak shalihah !. Ibarat daun akan hijau jikalau akarnya beres. Anak-anak kita ibarat dedaunan, sedangkan ibu adalah akar dari pohon itu. Ketika akarnya rusak, maka daun akan mulai menguning, layu dan jatuh. Setelah shalat, ibu harus mendo'akan anaknya satu persatu. Dari situlah, nanti akan tumbuh ruh junudun mujannadat, yaitu ruh ibu yang dulu pernah menjadi satu dengan anak, akan menjadi tersambung kembali. Yang dapat menyambungkan pertalian  ruh anak dan orang tua adalah seorang ibu, bukan anak!. Itulah mengapa Imam Al-Ghozali RA menyarankan, setiap kali ada perpisahan antara anak dengan ayah-ibu – misalnya: pergi –, maka harus selalu dibarengi dengan bacaan Surat Al-Fatihah dari ayah dan ibu kepada anak. Surat Fatihah itu akan menjaga pertalian ruh – junudun mujannadah – sekaligus  menjadi perlindungan bathin orang tua terhadap anak.
       Coba kita renungkan, pernahkah ini  kita melakukan untuk anak-anak kita? Bila tidak, maka jangan heran bila anak kita menjadi liar, sulit dikendalikan. Jangan lagi anak berada di luar rumah; di dalam rumah saja, hati anak sudah ndak nyambung sama ayah-ibunya. Na'udzu billahi min dzalik!
       Karena tugas ayah itu dobel, berdo'a dan menjaga hubungan bathin, seorang ayah juga harus mencari kebutuhan hidup. Karena itu, daya lekatnya terhadap anak tidak seperti ibu. Jadi, seorang ayah yang tidak didukung oleh seorang ibu, akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan hati anak-anaknya, karena ayah hanya bisa menjalankan separo tugas saja, sedangkan tugas yang separo lagi adalah mencari kebutuhan hidup keluarga. Karenanya kerjasama, pengertian, seiya sekata diantara ayah dan ibu dalam ibadah dan do'a akan menjadi modal utama untuk membangun landasan rumah tangga yang bahagia tempat berkembangnya jasmani-rohani anak-anaknya. Setelah itu, pelan-pelan, anak didorong untuk melakukan hal yang sama. Salah satu cara sederhana yang akan menjadi  obat paling mujarab untuk menyatukan keluarga adalah mengadakan shalat berjama'ah. Shalat berjama'ah dalam keluarga sungguh luar biasa pengaruhnya dan merupakan cermin harmonitas keluarga. Betapa indah, seorang ayah berdo'a, sementara ibu dan putra-putrinya ngamini. Itu sebetulnya sebuah pembulatan tekad bersama untuk mencapai yang terbaik bagi keluarga menuju ridlo Allah SWT.
       Kalau kita sudah menjalankan semua hal di atas, maka posisi kita sebagai orang tua sudah benar. Ingat, baru posisinya yang benar, belum gerakannya. Namun semua ini sudah bisa dijadikan modal untuk mencari kebutuhan dzahiriyah. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Jumu'ah : 10
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
       Usahakan, jangan sampai ada anak kita yang sudah dewasa, namun masih nggandol kepada kita. Mereka harus diajari mencari rezeki.  Selama seseorang membutuhkan dunia, maka dia harus mencarinya. Kecuali kalau dia dipilih oleh Allah SWT, hatinya sudah tidak menginginkan dunia lagi; ganti Allah SWT yang akan mengantarkan harta duniawi kepadanya. Namun kalau kita tidak dipilih, ojok gaya, nanti justru akan melarat tenan. Apalagi posisi kerja pada Surat Al-Jumu'ah:10 tadi, letaknya persis setelah ibadah fardhu.
        Selanjutnya mengenai ancaman bahaya dalam keluarga. Bahaya itu bisa berasal dari dalam dan bisa juga dari luar. Contoh bahaya dari dalam adalah gegeran, lalu didelok anake. Jika itu terjadi, maka habislah wibawa orang tua. Oleh karena itu, dosa gegeran ayah dan ibu itu dobel, yakni dosa pertikaian dan dosa merusak psikologi anak.
          Bahaya dari dalam yang kedua adalah faktor ingin saling menguasai di antara kedua orang tua. Mulane dalam menanggapai masalah gender ini, di dalam Al-Qur'an ada dua penjelasan. Di dalam lingkungan keluarga, Al-Qur'an tidak menggunakan istilah "persamaan gender", melainkan menggunakan istilah "keserasian gender". Serasi itu bukan berarti sama. Serasi itu bermakna saling mengisi; kelebihannya diberikan kepada yang lain, dan kelebihan orang lain masuk ke dalam dirinya.
       Masing-masing laki-laki dan wanita mempunyai kelebihan, hanya letaknya saja yang berbeda. Misalnya: ketegasan laki-laki dimasuki oleh ketelitian perempuan; Rasio laki-laki dibarengi nurani perempuan. dsb.  Sifat-sifat laki-laki dan perempuan sudah saling mengisi sejak zaman azali dari Lauh Mahfudz. Wanita harus bersikap lembut, sedangkan laki-laki harus bersikap gagah. Di mana letak kekuatan wanita? Yaitu pada kelembutannya, sehingga menimbulkan rasa laki-laki untuk melindunginya, dan perlindungan itulah yang membuat wanita aman & kuat. Sifat-sifat yang berbeda itu harus disinergikan.
       Jangan sekali-kali mengibarkan bendera persamaan gender di dalam keluarga, karena nanti justru akan membuat keluarga retak dan kering.  Namun, kalau di luar lingkungan keluarga, misalnya dalam karier, kepinteran, pangkat, kapasitas, dan kualitas, silahkan mengusung bendera persamaan gender. Kesimpulannya, untuk di lingkungan sosial menggunakan istilah persamaan gender (musawah), sedangkan kalau di lingkungan keluarga menggunakan istilah keserasian gender (tawazun).
       Yang juga termasuk bahaya dari dalam adalah kekurangan rezeki. Keluarga bisa berantakan karena kekurangan rezeki. Mulane, lek njalok nang Pengeran iku, njalok selamet lan rezeki kang barokah (halalan thayyiban). Orang yang sangat kekurangan ekonominya akan mengakibatkan kerusakan dalam keluarga. Jadi, harus ada do'a dan kerja.
         Adapun gangguan dari luar terhadap keluarga itu ada 2 macam, yaitu:
v  Gangguan hati. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Naas : 4-6
v  Gangguan akhlaq. Misalnya; Pergaulan, seks bebas, narkoba, ora sembahyang, tingakahe nggak karu-karuan, trek-trekan, dsb.
       Anak-anak kita harus kita peringatkan secara dzahir dan bathin. Secara bathin dengan cara-cara yang saya sebutkan di atas, sedangkan secara dzahir melalui peringatan kepada anak.
         Di dalam Al-Qur'an, anak itu terkategorikan menjadi beberapa macam:
v  Anak sing dadi pepaes (ziinatun). Misalnya; Anak yang mempunyai pangkat atau kepinteran. Mereka itu akan menjadi hiasan, namun perhiasan di dunia saja, sedangkan akhiratnya masih belum jelas.
v  Anak yang menjadi fitnah (fitnatun lakum).
v  Anak yang menjdi musuh orang tua ('aduwwun lakum).
Mereka memusuhi orang tua bisa jadi karena aqidahnya yang tidak sama atau karena karena merasa kepentingannya dipenggal.
v  Anak yang paling bagus adalah anak yang qurratu a'yunin. Jika kita mempunyai anak golongan terakhir ini, maka kalau kita meninggal dunia nanti, kita aan disuwuri do'a oleh mereka.
       Kalau kita ingin memperpanjang amal kita, maka perpanjanglah melalui anak kita. Amal kita akan habis pada waktu kita meninggal dunia, namun anak kita bisa melanjutkannya. Mereka bisa mengirim do'a dan sebagainya.

       Demikianlah peringatan dari Imam Al-Ghozali RA dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT dalam Surat At-Tahriim : 6 di atas. Tangan kita sudah berat untuk menjangkau masyarakat, oleh karena itu mari kita beresi keluarga masing-masing!.

0 komentar:

Posting Komentar

Edufunia Right. Diberdayakan oleh Blogger.