Jumat, 14 Februari 2014

PDKT kepada Allah SWT

TATA CARA & TINGKATAN TAQARRUB KEPADA ALLAH SWT
Abah Hasyim Muzadi


          Pada bulan kemarin, saya menganjurkan agar di dalam kehidupan yang semakin sulit ini, kita harus meningkatkan rasa keimanan dan tawakkal kepada Allah SWT, agar rohani dan pikiran kita tidak tumbang karena kesulitan hidup. Hari-hari ini kita saksikan betapa banyak orang yang bingung, stress, putus asa, bunuh diri, membunuh orang, dan betapa banyak fitnah yang tersebar di mana-mana, semua itu seperti udara YANG keruh bagi kita.
          Kalau kita tidak bisa mengubah keadaan ini, paling tidak kita menjaga diri agar tidak tumbang oleh keadaan. Pertama kali yang harus kita lakukan adalah memperkuat keimanan kepada Allah SWT. Hal yang paling penting adalah, bagaimana cara kita memperkuat keimanan?, Setiap kali khutbah, kita mendengar ajakan agar bertaqwa kepada Allah SWT, tapi masalahnya, bagaimana caranya agar kita bertaqwa kepada Allah SWT?. Hal itu tidak cukup hanya digemborkan saja terus selesai, karena yang demikian itu baru berita bahwa kita harus bertaqwa.
          Di dalam Kitab Ihya' 'Ulumuddin karya Imam Ghazali, terdapat tata cara memperkuat keimanan kepada Allah SWT, yaitu: Pertama kali kita harus mengenal Allah SWT sebagai Dzat yang serba Maha, yakni Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Pengatur, dan sebagainya. Mengenal Allah SWT di sini tidak cukup hanya kita bayangkan dengan akal. Kenapa?, karena dalam Surat Asy-Syura : 11 disebutkan:
LAISA KAMITSLIHI SYAI'UN
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia"

Allah SWT itu tidak serupa dengan apa saja; padahal yang kita lihat sehari-hari adalah yang apa saja, sehingga kalau kita melihat sesuatu, maka mesti dibandingkan dengan apa saja. Misalnya: Kalau kita melihat orang yang jelek, maka kita bisa membayangkan orang yang baik. Kalau kita melihat orang yang tinggi, maka kita bisa membayangkan orang yang pendek. Jadi, semuanya harus ada bandingannya; sedangkan Allah SWT tidak ada bandingannya dengan apa saja.
   
          Mengingat Allah SWT tidak ada bandingannya dengan apa saja, maka inilah yang menyebabkan Rasulullah SAW melarang melakukan keimanan semata-mata dengan pikiran; meskipun keimanan itu sebagian diperoleh melalui pikiran, seperti memikirkan gejala-gejala kekuasaan Allah SWT; gimana Allah SWT mengatur hidup kita, yakni dari kelahiran hingga kematian kita. Kita boleh menggambarkan kekuasaan-Nya, tapi kita sama sekali tidak boleh menggambarkan Dzat-Nya, karena Dzat-Nya adalah laisa kamistlihi syai'un, sedangkan kita ini adalah syai'un (sesuatu).
          Kita harus mengenal Allah SWT dengan cara memikirkan kekuasaan-Nya, bukan memikirkan Dzat-Nya. Ini penting sekali!, karena kalau kita terjerumus memikirkan Dzat-Nya, maka kita akan belok dari Islam. Seperti orang kebathinan; lek meneng, nggambarno Pengeran (Allah SWT), padahal Pengeran iku ora onok gambare. Hal-hal seperti ini sekarang osom (marak terjadi) di mana-mana. Ketika seseorang mengalami kesulitan berat, lalu dia menginginkan ketenangan, sedangkan dia tidak mengetahui jalan agama (Islam), akhirnya dia mengikuti siapa saja. Onok Jibril anyar, ngandel (percaya); onok Nabi anyar, ngandel; Dikandani lek selolop ndek Segoro Kidul, rezekine akeh, ngandel; dan seterusnya. Dia percaya pada hal-hal seperti itu karena saking buteke pikiran. Orang yang pikirane butek, maka setiap sesuatu yang masuk akan ditelan mentah-mentah, sehingga nabrak sana-sini. Intinya, kita harus menjaga tauhid kita masing-masing.
          Media untuk menyambungkan pikiran kita dengan kekuasaan Allah SWT dan Dzat-Nya, satu-satunya "sambungan" hanyalah ibadah dan dzikir. Kalau ibadah dan dzikir kita berhasil, maka akan terasa kedekatan kita dengan Allah SWT; bukan berarti di dalam dada kita tergambar "gambar-Nya" Allah SWT, tapi perasaan kitalah yang merasa dekat dengan Allah SWT. Sampai di situ sudah cukup untuk manusia.
          Kedekatan kepada Allah SWT itu bertingkat-tingkat, sebagaimana keterangan dalam Hadits Qudsi berikut ini: Abu Hurairah RA berkata: Nabi Muhammad SAW SAW bersabda: Allah Ta'ala berfirman: Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya jika dia berdzikir kepada-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku di dalam hatinya, maka Aku mengingatnya di dalam Dzat-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku dalam suatu kelompok, maka Aku mengingatnya di dalam golongan yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya sambil berlari.
Hadits di atas bermakna bahwa setiap keinginan untuk mendekat (bertaqarrub) kepada Allah SWT, akan selalu menghasilkan suatu derajat kedekatan. Nah, proses dari jauh menjadi dekat kepada Allah SWT, tidak gampang. Berikut ini urutan tingkat kedekatan (taqarrub) manusia kepada Allah SWT:
1)    Orang yang dekat dengan Allah SWT karena takut siksa-Nya. Tingkatan ini sudah bagus, karena sak iki wong wis gak wedi neroko. Diarani bakal mlebu neraka, malah pingin weruh lek opo rupane neroko iku.
2)    Orang yang dekat dengan Allah SWT karena mengharap pahala dari-Nya. Misalnya: Shalat cek oleh ganjaran. Akhirnya Allah SWT memberi pahala orang tersebut baik ketika di dunia maupun di akhirat nanti; hanya saja pahala di dunia, seperti ketenangan dan ketentraman, hanyalah "persekot" saja, karena pahala yang "orisinil" akan diberikan di akhirat nanti.
3)    Orang yang dekat dengan Allah SWT karena merasa bahwa ibadah adalah kewajiban. Jadi, dia merasa mempunyai kewajiban untuk menjalankan perintah Allah SWT. Nah, orang yang begini ini hatinya akan merasa gelisah kalau belum melakukan ibadah. Koyo wong lek gorong Shalat Isya', turune durung tenang. Sedangkan wong sing gak Shalat Isya', tapi turune tambah tanek, berarti dia tidak merasa bahwa Shalat Isya adalah kewajiban.
4)    Orang yang dekat dengan Allah SWT karena merasa bahwa ibadah adalah kenikmatan. Tingkatan ini adalah yang paling tinggi. Jadi, dengan ibadah, dia rumongso pancen nikmat; emboh diganjar opo ora, kewajiban opo ora; tapi dia merasa nikmat dengan ibadah. Orang yang bisa menikmati ibadah, ada harapan dia akan istiqomah. Istiqomah itu angel, sedangkan pedot-pedot iku sing gampang.
          Ketika orang melakukan ibadah karena takut siksa, maka dia akan memperoleh perlindungan Allah SWT dari berbuat kesalahan. Orang yang melakukan ibadah karena pahala, maka Allah SWT akan melipat-gandakan pahalanya. Kalau orang melakukan ibadah karena kewajiban, maka dia akan diberi balasan yang min haitsu yahtasib dan min haitsu la yahtasib, yakni balasan (pahala) yang bisa dihitung dan yang tidak bisa dihitung.



          Yang dimaksud dengan balasan yang min haitsu yahtasib (dapat dihitung) adalah Rahmat Allah SWT yang kita usahakan, dan Allah SWT mengembalikan usaha itu dengan Rahmat. Misalnya: Kita bekerja sebagai PNS dengan gaji 1,5 juta, maka sejumlah itu saja gaji yang akan diperoleh. Sedangkan balasan yang min haitsu la yahtasib seperti diundang wong lalu oleh berkat, yang Insya Allah gak mbayar. Kondangan kan gak iso diatur, sehingga hasil kondangan itu bukan hasil rekayasa dia sendiri, melainkan melalui proses kiri-kanan yang tidak bisa dia atur.
          Perlu diketahui bahwa balasan yang min haitsu la yahtasib itu bisa tumbuh karena pemberian cuma-cuma dari Allah SWT yang biasa disebut dengan Minnah, yakni pemberian yang nggak pakai tanggung-jawab. Misalnya: Karena kita melakukan pekerjaan yang hasilnya tidak kita hitung, maka Allah SWT pun mengembalikan dengan tanpa hitungan. Aku iki mulang kawit cilik, gak tahu dibayar, umpomo ditotal, piro bayarane?. Ngerumat wong, weweh-weweh sing gak onok catetane. Iku lek ditotal, piro?. Dalam Surat Ali 'Imron : 195 disebutkan:
"Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan"
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT tidak akan menghilangkan amal seperti apapun dari manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dadi, koyok aku mulang iki, ora ilang; ora di bayar, iyo, tapi ora ilang. Kalau sedekah, lepas saja; entah dibalikno opo ora, karena semua itu akan dikembalikan oleh Allah SWT. Hanya saja mempunyai keyakinan seperti ini masih angel. Syaratnya, semua pemberian itu jangan diundat-undat; karena pemberian yang diundat-undat itu hilang akan maknanya, sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah : 264
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir



0 komentar:

Posting Komentar

Edufunia Right. Diberdayakan oleh Blogger.