TATA CARA & TINGKATAN TAQARRUB KEPADA ALLAH SWT
Abah Hasyim Muzadi
Pada bulan kemarin,
saya menganjurkan agar di dalam kehidupan yang semakin sulit ini, kita harus
meningkatkan rasa keimanan dan tawakkal kepada Allah SWT, agar rohani dan
pikiran kita tidak tumbang karena kesulitan hidup. Hari-hari ini kita saksikan
betapa banyak orang yang bingung, stress, putus asa, bunuh diri, membunuh
orang, dan betapa banyak fitnah yang tersebar di mana-mana, semua itu seperti
udara YANG keruh bagi kita.
Kalau
kita tidak bisa mengubah keadaan ini, paling tidak kita menjaga diri agar tidak
tumbang oleh keadaan. Pertama kali yang harus kita lakukan adalah memperkuat
keimanan kepada Allah SWT. Hal yang paling penting adalah, bagaimana cara kita
memperkuat keimanan?, Setiap kali khutbah, kita mendengar ajakan agar bertaqwa
kepada Allah SWT, tapi masalahnya, bagaimana caranya agar kita bertaqwa kepada
Allah SWT?. Hal itu tidak cukup hanya digemborkan saja terus selesai, karena
yang demikian itu baru berita bahwa kita harus bertaqwa.
Di
dalam Kitab Ihya' 'Ulumuddin karya Imam Ghazali, terdapat tata cara
memperkuat keimanan kepada Allah SWT, yaitu: Pertama kali kita harus mengenal
Allah SWT sebagai Dzat yang serba Maha, yakni Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha
Pengatur, dan sebagainya. Mengenal Allah SWT di sini tidak cukup hanya kita
bayangkan dengan akal. Kenapa?, karena dalam Surat Asy-Syura : 11 disebutkan:
LAISA KAMITSLIHI SYAI'UN
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia"
Allah SWT itu tidak serupa dengan apa
saja; padahal yang kita lihat sehari-hari adalah yang apa saja, sehingga kalau
kita melihat sesuatu, maka mesti dibandingkan dengan apa saja. Misalnya:
Kalau kita melihat orang yang jelek, maka kita bisa membayangkan orang yang
baik. Kalau kita melihat orang yang tinggi, maka kita bisa membayangkan orang
yang pendek. Jadi, semuanya harus ada bandingannya; sedangkan Allah SWT tidak
ada bandingannya dengan apa saja.
Mengingat
Allah SWT tidak ada bandingannya dengan apa saja, maka inilah yang menyebabkan
Rasulullah SAW melarang melakukan keimanan semata-mata dengan pikiran; meskipun
keimanan itu sebagian diperoleh melalui pikiran, seperti memikirkan
gejala-gejala kekuasaan Allah SWT; gimana Allah SWT mengatur hidup kita,
yakni dari kelahiran hingga kematian kita. Kita boleh menggambarkan
kekuasaan-Nya, tapi kita sama sekali tidak boleh menggambarkan Dzat-Nya, karena
Dzat-Nya adalah laisa kamistlihi syai'un, sedangkan kita ini adalah syai'un
(sesuatu).
Kita
harus mengenal Allah SWT dengan cara memikirkan kekuasaan-Nya, bukan memikirkan
Dzat-Nya. Ini penting sekali!, karena kalau kita terjerumus memikirkan
Dzat-Nya, maka kita akan belok dari Islam. Seperti orang kebathinan; lek
meneng, nggambarno Pengeran (Allah SWT), padahal Pengeran iku
ora onok gambare. Hal-hal seperti ini sekarang osom (marak terjadi)
di mana-mana. Ketika seseorang mengalami kesulitan berat, lalu dia menginginkan
ketenangan, sedangkan dia tidak mengetahui jalan agama (Islam), akhirnya dia
mengikuti siapa saja. Onok Jibril anyar, ngandel (percaya); onok Nabi
anyar, ngandel; Dikandani lek selolop ndek Segoro Kidul, rezekine akeh,
ngandel; dan seterusnya. Dia percaya pada hal-hal seperti itu karena saking
buteke pikiran. Orang yang pikirane butek, maka setiap sesuatu yang
masuk akan ditelan mentah-mentah, sehingga nabrak sana-sini. Intinya,
kita harus menjaga tauhid kita masing-masing.
Media
untuk menyambungkan pikiran kita dengan kekuasaan Allah SWT dan Dzat-Nya,
satu-satunya "sambungan" hanyalah ibadah dan dzikir. Kalau ibadah dan
dzikir kita berhasil, maka akan terasa kedekatan kita dengan Allah SWT; bukan
berarti di dalam dada kita tergambar "gambar-Nya" Allah SWT, tapi
perasaan kitalah yang merasa dekat dengan Allah SWT. Sampai di situ
sudah cukup untuk manusia.
Kedekatan
kepada Allah SWT itu bertingkat-tingkat, sebagaimana keterangan dalam Hadits
Qudsi berikut ini: Abu Hurairah RA berkata: Nabi Muhammad SAW SAW bersabda:
Allah Ta'ala berfirman: Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku
bersamanya jika dia berdzikir kepada-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku di dalam
hatinya, maka Aku mengingatnya di dalam Dzat-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku
dalam suatu kelompok, maka Aku mengingatnya di dalam golongan yang lebih baik
dari mereka. Jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat
kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat
kepadanya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan
mendatanginya sambil berlari.
Hadits di atas bermakna bahwa setiap keinginan untuk
mendekat (bertaqarrub) kepada Allah SWT, akan selalu menghasilkan suatu
derajat kedekatan. Nah, proses dari jauh menjadi dekat kepada Allah SWT, tidak gampang.
Berikut ini urutan tingkat kedekatan (taqarrub) manusia kepada Allah
SWT:
1)
Orang yang dekat dengan Allah SWT
karena takut siksa-Nya. Tingkatan ini sudah bagus, karena sak iki wong wis
gak wedi neroko. Diarani bakal mlebu neraka, malah pingin weruh lek opo
rupane neroko iku.
2)
Orang yang dekat dengan Allah SWT
karena mengharap pahala dari-Nya. Misalnya: Shalat cek oleh ganjaran.
Akhirnya Allah SWT memberi pahala orang tersebut baik ketika di dunia maupun di
akhirat nanti; hanya saja pahala di dunia, seperti ketenangan dan ketentraman,
hanyalah "persekot" saja, karena pahala yang "orisinil"
akan diberikan di akhirat nanti.
3)
Orang yang dekat dengan Allah SWT
karena merasa bahwa ibadah adalah kewajiban. Jadi, dia merasa mempunyai
kewajiban untuk menjalankan perintah Allah SWT. Nah, orang yang begini
ini hatinya akan merasa gelisah kalau belum melakukan ibadah. Koyo wong lek
gorong Shalat Isya', turune durung tenang. Sedangkan wong sing
gak Shalat Isya', tapi turune tambah tanek, berarti dia
tidak merasa bahwa Shalat Isya adalah kewajiban.
4)
Orang yang dekat dengan Allah SWT
karena merasa bahwa ibadah adalah kenikmatan. Tingkatan ini adalah yang paling
tinggi. Jadi, dengan ibadah, dia rumongso pancen nikmat; emboh
diganjar opo ora, kewajiban opo ora; tapi dia merasa nikmat dengan ibadah.
Orang yang bisa menikmati ibadah, ada harapan dia akan istiqomah. Istiqomah itu
angel, sedangkan pedot-pedot iku sing gampang.
Ketika
orang melakukan ibadah karena takut siksa, maka dia akan memperoleh
perlindungan Allah SWT dari berbuat kesalahan. Orang yang melakukan ibadah
karena pahala, maka Allah SWT akan melipat-gandakan pahalanya. Kalau orang
melakukan ibadah karena kewajiban, maka dia akan diberi balasan yang min
haitsu yahtasib dan min haitsu la yahtasib, yakni balasan (pahala)
yang bisa dihitung dan yang tidak bisa dihitung.
Yang
dimaksud dengan balasan yang min haitsu yahtasib (dapat dihitung) adalah
Rahmat Allah SWT yang kita usahakan, dan Allah SWT mengembalikan usaha itu
dengan Rahmat. Misalnya: Kita bekerja sebagai PNS dengan gaji 1,5 juta, maka
sejumlah itu saja gaji yang akan diperoleh. Sedangkan balasan yang min
haitsu la yahtasib seperti diundang wong lalu oleh berkat,
yang Insya Allah gak mbayar. Kondangan kan gak iso diatur,
sehingga hasil kondangan itu bukan hasil rekayasa dia sendiri, melainkan
melalui proses kiri-kanan yang tidak bisa dia atur.
Perlu
diketahui bahwa balasan yang min haitsu la yahtasib itu bisa tumbuh
karena pemberian cuma-cuma dari Allah SWT yang biasa disebut dengan Minnah,
yakni pemberian yang nggak pakai tanggung-jawab. Misalnya: Karena kita
melakukan pekerjaan yang hasilnya tidak kita hitung, maka Allah SWT pun
mengembalikan dengan tanpa hitungan. Aku iki mulang kawit cilik, gak tahu
dibayar, umpomo ditotal, piro bayarane?. Ngerumat wong, weweh-weweh
sing gak onok catetane. Iku lek ditotal, piro?. Dalam Surat Ali
'Imron : 195 disebutkan:
"Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan"
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah
SWT tidak akan menghilangkan amal seperti apapun dari manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Dadi, koyok aku mulang iki, ora ilang; ora di
bayar, iyo, tapi ora ilang. Kalau sedekah, lepas saja; entah dibalikno
opo ora, karena semua itu akan dikembalikan oleh Allah SWT. Hanya saja
mempunyai keyakinan seperti ini masih angel. Syaratnya, semua pemberian
itu jangan diundat-undat; karena pemberian yang diundat-undat itu
hilang akan maknanya, sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah : 264
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah).
mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir
0 komentar:
Posting Komentar