3 Tingkatan Puasa
Malam ke-6 Ramadhan ini masih termasuk “babak
penyisihan”. Alhamdulillah masih
banyak jama’ah yang hadir dalam shalat tarawih, meskipun sudah ada yang gugur
dalam babak penyisihan ini. Pada 10 hari pertama, kita mendapat Rahmat dari
Allah SWT, kemudian 10 hari kedua kita akan memperoleh maghfirah (ampunan
dosa-dosa). Akan tetapi semua janji Allah SWT ini bersyarat. Ingat!, semua Rahmat
yang diberikan Allah SWT senantiasa mengandung tanggung jawab, sedangkan janji
Allah SWT pasti ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Kalau begini, kamu akan
Aku kasih begini, dst.
Mumpung kita belum memasuki babak semifinal,
yaitu masuk pada 10 hari kedua yang dijanjikan maghfirah (ampunan) di
dalamnya. Maka yang perlu kita persiapkan adalah bagaimana kita bisa memenuhi
syarat-syarat turunnya janji Allah SWT berupa maghfirah tersebut. Banyak orang
berdo'a, akan tetapi dia tidak memikir apakah dia pantas memperoleh apa yang
dia do'akan. Di dalam Hadits Rasulullah SAW disebutkan bahwa puasa yang dijanjikan
mendatangkan maghfirah adalah puasa yang memenuhi dua syarat, yaitu iman
dan ihtisab (instropeksi diri).
Yang dimaksud dengan syarat adanya iman di
dalam puasa adalah puasa yang dilakukan diniati semata-mata karena Allah SWT,
karena niat puasa itu beraneka ragam. Misalnya; seseorang berpuasa karena
darahnya akan diambil untuk keperluan medis; atau berpuasa agar seseorang mau
dia nikahi. Puasa yang tidak didasari oleh iman seperti ini tidak bisa
mendatangkan maghfirah dari Allah SWT. Puasa yang kita lakukan harus
senantiasa dilandasi keimanan. Puasa yang didasari rasa iman memang tidak
kelihatan wujudnya, akan tetapi akan tampak nyata hasilnya.
Syarat kedua adalah harus ada ihtisab. Ihtisab berarti hasiba
nafsahu (mengoreksi dirinya). Dalam sebuah qaul disebutkan:
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ
“Sungguh
beruntung orang yang meneliti kesalahannya sendiri, sampai-sampai dia tidak
sempat memperhatikan kesalahan orang lain”.
Orang yang bisa melakukan ini akan untung
besar. Padahal yang usum (banyak terjadi) adalah orang yang gemar meneliti
kesalahan orang lain, sampai-sampai tidak mengerti kesalahan dirinya sendiri.
Kalau puasa sudah dilandasi dengan iman
dan ihtisab, maka Allah SWT akan menghapus dosa-dosanya. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud dengan dosa yang terhapus oleh puasa
adalah dosa kepada Allah SWT (Haqqullah), bukan dosa yang berkaitan
dengan hak asasi manusia. Karena dosa yang berkaitan dengan sesama manusia
harus diberesi dengan cara melunasi hutang-hutangnya atau meminta maaf kepada
orang yang bersangkutan atau meminta untuk dibebaskan dari segala tanggungan.
Jadi, dosa yang bertautan dengan hak manusia lebih berat dari pada taubat atas dosa
kepada Allah SWT semata.
Sebelum memasuki putaran kedua dari bulan
Ramadhan, marilah kita tingkatkan kualitas puasa kita. Orang yang berpuasa itu terbagi
menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1.
Puasa dengan kualitas
pas-pasan. Di sini seseorang hanya
meninggalkan makan dan minum, dan hal-hal yang bisa membatalkan puasanya, akan
tetapi masih suka menggunjing (ghibah) atau melakukan kemaksiatan-kemaksiatan
lain. Orang tersebut tetap memperoleh pahala, akan tetapi pahala tersebut belum
bisa menghapus dosa-dosanya yang telah lalu. Puasa jenis ini masih dinilai
bagus dari pada tidak berpuasa.
2.
Puasa dengan modal pas-pasan
namun disertai pengendalian panca indera dan tingkah laku. Di sinilah letak
ihtisab (instropeksi diri) itu. Kita tidak perlu mendengarkan infotaintment
yang cuma berisi gosip-gosip yang hanya merusak telinga. Meskipun para ulama’
sudah melarang infotainment, namun mereka masih mementingkan uangnya daripada ancaman
siksa di api neraka. Puasa pada tingkatan ini sudah bisa menghapus dosa-dosa
yang telah berlalu. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا، غًفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa berpuasa Ramadhan
dengan iman dan ihtisab (pengendalian diri), maka akan diampuni dosa-dosanya
yang telah berlalu
3.
Puasa dengan
kualitas terbaik yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan Allah,
yaitu para ‘Ibadullah (Hamba-hamba Allah), para Auliya’ (Para
Kekasih Allah) dan Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah SWT).
Pelaksanaan puasa jenis ini menuntut seseorang untuk berpuasa dari segala hal
yang bisa membatalkan puasa secara syari’at sekaligus mampu mengendalikan panca
indera dan tingkah lakunya sehingga terbentuk ihtisab serta mengosongkan
pikiran dan hatinya dari hal-hal selain Allah SWT. Orang-orang yang mampu
berpuasa pada tingkatan ini diberi anugerah oleh Allah SWT berupa kema’rifatan,
yaitu dia tidak hanya mengetahui suatu keadaan, tapi juga mengetahui makna di
balik keadaan yang terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar